ETIKA
ISLAMI DALAM PRAKTIK AKUNTANSI
MAKALAH
disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Auditing Syariah
Dosen : Tito Marta Sugema Dasuki,
S.E., M. AK.
Disusun :
v Retty
Sugiarti
|
: 1143070184
|
v Reza
Ramdhan
|
: 1143070188
|
v Rissa
Dwi Putri Rahayu
|
: 1143070202
|
v Siti
Hodijah
|
: 1143070219
|
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2017
M/1437 H
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Puji syukur selayaknya
kita panjatkan kepada Dzat Ilahi Allah SWT. penerjemah segala tanya, penerang
dalam segala sudut kegelapan, pemilik kebenaran yang hakiki, penebar berbagai
nikmat, terutama nikmat Iman dan Islam. Pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Etika
Islami dalam Praktik Akuntansi.”
Shalawat serta salam semoga selalu terlimpah kepada nabi kita Muhammad Saw., insan terpilih pembawa amanah
bermuatan syari’ah untuk dipahami dan dilaksanakan oleh segenap muslimin.
Adapun tujuan dari
pembuatan makalah
ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Auditing Syariah. Penulis sadar walau
penulis telah berusaha optimal untuk menghasilkan makalah yang baik, namun tiada
gading yang tak retak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan penilaian, masukan, maupun koreksi demi penyempurnaan makalah ini.
Sebagai makhluk yang
memiliki ragam keterbatasan, yang senantiasa membutuhkan bantuan, penulis
menyadari bahwa makalah ini tidak dapat terselesaikan sebagaimana yang
diharapkan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih kepada Bapak Tito Marta Sugema Dasuki, S.E., M. AK. yang telah memberikan
tugas ini kepada penulis sehingga penulis jadi lebih mengetahui mengenai etika Islami yang harus
diterapkan dalam praktik akuntansi. Penulis berharap supaya tulisan ini
bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan untuk para pembaca pada umumnya.
Semoga menjadi sumbangsi untuk keperluan ilmu pengetahuan Aamiin.
Bandung, 15 Maret 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL.................................................................................. i
KATA
PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR
ISI................................................................................................. iii
Bab
I Pendahuluan................................................................................................
A. Latar
Belakang Masalah.................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................. 2
C. Tujuan................................................................................................ 2
Bab
II Pembahasan...........................................................................................
A. Ruang
lingkup etika akuntansi.......................................................... 3
B. Teori
etika......................................................................................... 13
C. Struktur kode etik ........................................................................... 19
D. Kode etik akuntansi dalam prespektif Islam.................................... 20
E. Prinsip kode etik............................................................................... 23
F. Peraturan kode etik.......................................................................... 24
G. Tujuan kode etik............................................................................... 29
Bab III Kesimpulan........................................................................................ 31
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................. 33
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Akuntansi
sebagai instrumen bisnis tidak saja membutuhkan etika akuntan yang
mempraktikkannya, tetapi juga etika dalam dirinya sendiri baik sebagai praktik
atau sebagai disiplin ilmu. Akuntansi dalam perspektif buku ini selalu
mengandung nilai (value-lodeh). Akuntansi memancarkan milai yang dikandungnya
melalui infomasi yang disajikan. Nilai yang dipancarkan ini memengaruhi
pengguna dalam pengambilan keputusan. implementasi pengambilan keputusan pada
akhirnya menciptakan realitas dengan nilai yang sama dengan nilai yang telah
dipancarkan oleh akuntansi.
Secara
ideal akuntansi selayaknya mengandung nilai-nilai etika yang baik dalam dirinya
sendiri, karena nilai ini pada akhirnya menciptakan realitas. Menurut
perspektif Khalifatullah fil Ardh, nilai yang dimaksud di sini adalah nilai
etika syariah.
Penggunaan
etika syariah mengindikasikan bahwa pemahaman Sunnatullah yang tersebar dalam
alam semesta, dalam kehidupan sosial manusia, dan dalam diri manusia itu
sendiri adalah sangat penting. (Pemahaman) Sunnatullah ini digunakan untuk
menjadi basis nilai dalam konstruksi akuntansi syariah. Ketika nilai-nilai
etika syariah ini menyatu dengan akuntansi syariah, maka infomasi yang
disampaikan adalah informasi yang mengandung nilai-nilai syariah. Informasi ini
menstimulasi penggunanya untuk mengambil keputusan bisnis dan menciptakan
realitas kehidupan (bisnis) yang sesuai dengan, atau yang juga sarat dengan
nilai- nilai syariah.
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas dapat di susun beberapa rumusan masalah berikut.
1.
Bagaimana ruang lingkup etika akuntansi?
2.
Bagaimana kode etik akuntan dalam
perspektif Islam?
3.
Apa tujuan dari pemberlakuan kode etik
tersebut?
C.
Tujuan
Dari
rumusan masalah di atas dapat disusun beberapa tujuan penulisan makalah sebagai
berikut.
1.
Untuk mendeskripsikan ruang lingkup
etika akuntansi.
2.
Untuk mendeskripsikan kode etik akuntan
dalam perspektif Islam.
3.
Untuk mendeskripsikan tujuan dari
pemberlakuan kode etik tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Ruang Lingkup Etika Akuntansi
Etika sering juga disebut moral
akhlak, budi pekerti adalah sifat dan wilayah moral, mental, jiwa, hati nurani
yang merupakan pedoman perilaku yang ideal yang seharusnya dimiliki oleh
manusia sebagai makhluk moral atau “moral being” . etika ini menyangkut
pemilihan dikotomis antara nilai baik dan buruk, benar dan salah, adil dan
tidak adil, terpuji dan terkutuk yang positif dan negatif. Etika
sebagai pemikiran dan pertimbangan moral memberikan dasar bagi seseorang maupun
sebuah komunitas untuk dapat menentukkan baik buruk atau benar salahnya suatu
tindakan yang akan diambilnya. Dalam perkembangannya keragaman pemikiran etika
kemudian berkembang membentuk suatu teori etika. Teori etika dapat disebut sebagai gambaran rasional
mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta
prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut
secara moral diperintahkan atau dilarang.
Berbagai aliran
pemikiran etika dalam mengkaji morallitas suatu tindakan telah berkembang
sedemikian luasnya. Berdasarkan sejarahnya, pemikiran-pemikiran etika
berkembang meliputi aliran –aliran etika klasik yang berasal dari pemikiran
filosof Yunani, etika kontemporer dari
pemikir Eropa abad pertengahan sampai abad 20-an serta aliran etika dari
pemikiran kalangan agamawan Islam yang selalu mengacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Praktisi akuntansi
syariah sebagai pelaku akuntansi syariah terikat
oleh syariah yang bersumber dari Al-Qur‟an dan
As-Sunnah. Dari Al-Quran dan As-Sunnah diturunkan formulasi praktis dalam
bentuk hukum Islam yang selanjutnya dikenal dengan syariah. Dalam syariah
setiap tindakan manusia akan diklasifikasikan ke dalam lima hukum yakni wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram. “Syariah adalah sistem
yang komprehensif yang melingkupi seluruh bidang
hidup manusia. Ia (syariah) bukan sekedar
sebuah sistem hukum, tetapi sistem yang
lengkap yang mencakup hukum dan moralitas.”
Syariah yang dikemukakan diatas memberikan suatu indikasi bahwa
syariah bukan merupakan sistem hukum yang
cenderung menekankan diri pada sistem hukum positif belaka, namun juga lebih
dari itu, yaitu pada sisi moralitas
(etika). Disini terlihat adanya keterkaitan antara syariah sebagai hukum
positif di satu sisi dan etika di sisi yang lainnya sebagai ruh yang memberikan
nilai hidup bagi syariah itu sendiri. Berikut ini akan diuraikan beberapa
nilai-nilai etika akuntansi dari beberapa presfektif yaitu:
1.
Nilai-nilai
Etika Akutansi Menurut Ahmed
Riahi-Belkaoui (1992)
Salah
satu prinsip yang dimiliki perspektif khalifatullah fil-ardh dalam pola
berfikir bebas dan terbuka namun tetap kritis berdiri di atas hati nurani yang
suci dan bertauhid. Konsekuensi dari pola berpikir semacam ini adalah menerima
semua pemiikiran dan ilmu pengahuan tanpa memerhatikan sumbernya, seperti yang
sudah disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw.
“Pungutlah
olehmu hikmah (ilmu pengetahuan atau wisdom) dan tidak akan membahayakan bagi
kamu dan dari bejana apapun hikmah itu keluar. Hikmah adalah barangnya hilang
nya orang beriman , karena itu hendaknya ia memungutnya dimanapun ditemukannya
“.
Dengan
‘inklusivisme-kritis’ ini , perbendaharaan ilmu pengetahuan akan semakin
diperkaya dan ketika ilmu pengetahuan dimengerti sebagai temuan-temuan atau
bentuk-bentuk konkret dari sunnatullah, maka diharapkan kesadaran manusia akan
keberadaan sunatullah (atau keberadaan Allah) akan semakin besar meningkat.
Sehingga dengan kesadaran ini realitas kehidupan yang tercipta atau yang akan
diciptakan oleh setiap individu akan selalu berada dalam garis sunnatullah.
Sehubungan
dengan hal tersebut, kajian di bab ini akan diarahkan kepada konsep nilai-nilai
etika akutansi yang dikemukakan oleh dua orang penulis yaitu Ahmed Riahi
Belkaoui (1992) dan jere RFrancis (1990). Riahi Belkaoui (1992), Dalam hal ini
,mengajukan lima nilai etika , yaitu Fairness,
etchis, honesty, social responsibility,
dan truth sebagai elemen-elemen yang
paling penting dalam moralitas akuntansi. Unsur pertama, fairnes merupakan perwujudan sifat netral dari seorang akuntan dalam
menyiapkan laporan keuangan. Ini adalah suatu indikasi bahwa prinsip, prosedur
dan teknik-teknik akuntansi harus fair,
tidak bias dan tidak parsial dalam arti bahwa akuntan sebagai penyedia
informasi harus beritikad baik dan menggunakan etika bisnis dan kebijakan
akuntansi yang baik dalam menyajikan, memproduksi, dan memeriksa (auditing) informasi akuntansi.
Unsur
yang kedua, yaitu etika (ethics), menurut pandangan Riahi belkoui,
erat kaitannya dengan peran profesi akuntansi, artinya bahwa dalam melaksanakan
peranannya, seorang akuntan tidak hanya menghadapi aturan-aturan perilaku
formal, tetapi juga nilai - nilai moralitas yang diciptakan oleh lingkungannya.
Dengan mengakui adanya suatu akuntan mau tidak mau harus mengakui adanya
kewajiban dan tanggung jawab yang harus
di pikulnya. Oleh karena itu, nilai-nilai etika (ethics) yang membedakan antara yang baik dengan yang buruk dan yang
benar dengan yang salah merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan
sebagai dasar pijakan dalam pengambilan keputusan.
Honesty adalah
unsur ketiga yang dapat menjamin
terciptanya atau bertahannya kepercayaan masyarakat umum terhadap profesi
akuntansi. Hilangnya honesty umumnya menyebabkan timbulnya fraud. Sayangnya, froud dalam dunia akuntansi – yang umumnya dalam bentuk corporate froud, fraudulent financial reporting, white – collar crime, atau audit fairules – makin meningkat dan
menyebabkan timbulnya kerugian yang besar bagi perusahaan, individu dan
masyarakat, serta menimbulkan masalah moral dalam dunia. Froud biasanya timbul karena adanya konsentrasi tunggal pada satu
tujuan (keinginan) atau adaanya kecenderungan untuk memenuhi kepentingan
pribadi atau golongan.
Sosial
responsibility adalah unsur yang
keempat yang pada dasarnya erat kaitannya dengan persepsi seseorang tentang
perusahaan. Menurut persepsi ini, perusahaan tidak lagi dipandang sebagai
sebuah entitas yang semata – mata mengejar laba ( profit ) untuk kepentingan pemilik perusahaan (shareholders), sebagaimana yang di anut oleh paham klasik pada abad
ke- 19, atau untuk kepentingan yang lebih luas, yaitu stakeholders ( pemegang saham, kreditor, investor, pemasok bahan –
baku,pemerintah, dan entitas lain yang mempunyai hak terhadap perusahaan ),
namun juga secara lebih serius memperhatikan lingkungan sosial.
Pandangan
yang terakhir ini menganggap bahwa perusahaan mempunyai kepentingan yang kuat
terhadap lingkungan sosial sebagai bagian yang sangat penting dan tak
terpisahkan dalam melakukan bisnis disamping kepentingan pasar. Ini secara
ekplisit menunjukan dan mengakui bahwa aktifitas perusahaan memiliki dampak
yang besar tidak saja terhadap kekuatan ekonomi, tetapi juga terhadap kekuatan
– kekuatan sosial dan politik. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa
perusahaan mempunyai minat dan perhatian yang besar terhadap ketimpangan –
ketimpangan sosial ekonomi dalam masyarakat ( seperti tidak meratanya
pendidikan, ekonomi, dan kesempatan kerja ), kesewenangan dalam mengeksploitasi
sumber daya alam dan dalam memperlakukan limbah industri, fasilitas-fasilitas
umum yang tidak memadai, dan lain sebagainya. Pandangan ini begitu jauh telah
meninggalkan pendahulunya yang memandang tujuan perusahaan hanyalah maksimasi
kesejahteraan untuk pemegang saham (
stockholder wealth maximization ) – menuju pada tujuan maksimasi
kesejahteraan masyarakat secara umum (
social welfare maximization ). Menurut pandangan ini, demikian dikatakan
oleh Riahi-Belkauoi perusahaan dapat melakukan semua proyek kegiatan (sebagai
tambahan pada tujuan untuk memperoleh laba) yang dapat meminimalkan biaya
sosial ( social cost ) dan
memaksimalkan manfaat sosial ( social
benefits ). Adanya kesadaran sosial ini memberikan suatu indikasi bahwa ada
suatu persepsi ( tentang perusahaan ) yang berpijak pada nilai-nilai etika
(moral) dan rasa tanggung jawab sosial yang besar terhadap masyarakat dan
lingkungan.
Unsur
kelima dari moralitas dalam akuntansi adalah truth. Truth dalam hal
ini dapat diartikan sebagai netralitas (neutrality)
dan objektivitas (objectivity). Truth dalam arti yang pertama, menurut Riahi-Belkoui, Menunjukan
bahwa seorang akuntan untuk menghindari bias dalam pengetahuan (knowledge),
deskripsi, dan komunikasi atas fakta, harus bersikap netral. Netral disini
artinya adalah bahwa akuntan melaporkan informasi seperti apa adanya, tidak menyediakan
informasi dengan cara tertentu yang cenderung menguntungkan suatu pihak dan
merugikan pihak lain. Sedangkan truth
dalam arti yang kedua menunjukan
empat pengertian, yaitu: a) bahwa ukuran-ukuran yang digunakan dalam akuntansi
bersifat impersonal atau berada
diluar pemikiran seseorang yang membuat ukuran tersebut; b) bahwa ukuran
tersebut berdasarkan bukti-bukti yang dapat diverifikasi; c) bahwa ukuran
tersebut berdasarkan pada konsensus para ahli yang dapat dipercaya; dan d)
terdapat kerampingan (narrowness)
dispersi statistik dari ukuran-ukuran yang digunakan bila ukuran tersebut dibuat oleh orang yang berbeda.
Unsur-unsur
moralitas akuntansi yang dikemukakan oleh Riahi-Belkaoui di atas merupakan
bagian yang sangat penting dalam memberikan suatu persepsi bahwa sebenarnya
akuntansi tidak terlepas dari nilai-nilai etika yang menyangkut tidak saja
kepribadian (personality) dari
akuntan sebagai orang yang menciptakan dan membentuk akuntansi, tetapi juga
akuntansi sebagai sebuah disiplin. Hal tersebut memang wajar dan cukup
rasional, karena akuntansi-sebagaimana yang didefinisikan oleh American Institute of Certified Public Accountants
(AICPA) dalam Statements of the
Accounting Principle Board, No 4, par 40,1970 adalah: “ sebuah aktivitas
jasa. Fungsinya adalah memberikan informasi kuantitatif, terutama informasi
keuangan, tentang entitas bisnis yang dimaksudkan dapat berguna dalam membuat
keputusan-keputasan ekonomi dalam membuat pilihan-pilihan yang rasional di
antara beberapa alternatif tindakan.”
Informasi
akutansi dalam definisi di atas merupakan unsur utama dalam pengambilan
keputusan ekonomi. Dengan kata lain keputusan – keputusan ekonomi yang di ambil
seseoran pada satu sisi sangat dipengaruhi oleh informasi yang digunakan dan
pada sisi yang lain keputusan tersebut berimplikasi atau berpengaruh terhadap
terbentuknya suatu kondisi atau realitas tertentu misalnya dengan informasi
akutansi (disamping informasi yang lain) seorang investor mengambil keputusan
untuk menanamkan dana dalam sebuah perusahaan yang sedang melakukan ekspansi
bisnis. Keputusan untuk melakukan investasi ini jelas menciptakan realitas baru
seperti, semakin besarnya kekayaan (aset) dan nilai perusahaan, semakin
terbukanya kesempatan kerja, semakin besarnya tingkat produksi semakin besarnya
kesejahteraan masyarakat dan lain
sebagainya atau terciptanya realitas yang negative (karena informasi yang
digunakan tidak valid), seperti bangkrutnya perusahaan, adanya pemutus hubungan
kerja, meningkatnya pengangguran, menurunnya angka pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat.
Dari
contoh tersebut kita dapat memahami bahwa informasi (akutansi) mempunyai
pengaruh yang besar dalam pengambilan keputusan yang besar dalam pengambilan-pengambilan
keputusan yang pada gilirannya juga berpengaruh terhadap pembentukan realitas.
Melihat hal ini Morgan secara eksplisit telah menegaskan bahwa hasil penafsiran
akuntan atau (atau non akuntan) terhadap realitas (misalnya, laporan keuangan)
akan menjadi sumber informasi untuk pembentukan-pembentukan kembali realitas
(reconstruction of reality), karena laporan keuangan (dimana didalamnya
terdapat informasi akuntansi) dipakai oleh para pengguna (users) untuk
membentuk atau merasionalisasikan keputusan-keputusan pada masa yang akan
datang, begitu penting pengaruh informasi akuntansi terhadap pembentukan realitas,
sampai-sampai Francis mengklaim bahwa akuntansi adalah sebuah peraktik moral. Hal
ini demikian, karena akuntan dapat mengubah dunia dan mempengaruhi pengalaman
hidup orang lain dengan cara menyebabkan pengalaman hidup seseorang menjadi
berbeda dengan tidak adanya (absence)
akuntansi atau adanya (presence)
bentuk alternatif akuntansi.
2.
Nilai-nilai
Etika Akutansi Menurut Jere R.Francis (1990)
Sedikit berbeda dalam hal penekanan,
nilai-nilai etika yang yang dikemukakan oleh francis lebih bersifat spesifik
dan pragmatis dibanding dengan apa yang telah dikemukakan oleh Riahi-belkaoui
Hal ini demikian karena francis memang menekankan seperti yang dikemukakan
diatas , pada sisi tertentu yang memberikan arti bahwa akuntansi pada
hakikatnya adalah praktik moral. Oleh karena itu, francis lebih menekankan pada
kualitas kemanusiaan (human quality),
yaitu kualitas yang kepemilikan dan aktualitasnya dapat membantu kita
memperoleh sesuatu yang baik yang sebetulnya bersifat internal bagi praktik
akuntansi dan sebaliknya dengan ketiadaan kualitas tersebut akan menghambat
kita untuk memperoleh nilai kebajikan. Untuk itu Francis mengemukakan lima
nilai etika yang dapat direalisasikan melalui praktik akuntansi, yaitu :
kejujuran (honesty) , perhatian
terhadap status ekonomi orang lain (concern
for the economic status of others), sensitivitas terhadap nilai kerja sama
dan konflik (sensitivity to the value of
cooperation and conflict) , karakter komunikatif akuntansi (communicative character of accounting),
dan penyebaran informasi ekonomi dengan (dissemination
of econonomic information).
Kejujuran (honesty), yang pertama, merupakan kualitas utama harus dimiliki
oleh baik akuntan maupun auditor. Tanpa kualitas ini, hakikat diri akuntan dan
auditor menjadi tidak sesuai dengan fitrah dirinya dan akibatnya dapat
memberikan efek negatif terhadap masyarakat secara luas dan realitas sosial
yang diciptakanya. Yang kedua adalah perhatian terhadap status ekonomi orang lain
(concern for the economic status of
others). Disini akuntan diminta untuk menyiapkan wacana khusus dalam
beberapa konteks khusus pula. tidak ada cara menghindar yang berlawanan dengan
ligitimasi atau maksud dimana akuntansi digunakan. Kita demikian menurut
francis tidak dapat bersembunyi dibalik retorika merefleksikan bagaimana
akutansi dapat digunakan untuk mempengruhi hubungan ekonomi antar
individu-individu yang membawa kepada kondisi ekonomi yang lebih baik kita
harus menjaga diri dari unreflective use akuntansi
karena semata kita menganggapnya sebagai alat yang efektif untuk pengendalian
dan efesiensi.
Ketiga adalah sensitivitas terhadap
nilai kerja dan konflik beberapa praktik akuntansi seperti biaya standar (standard costing) anggaran (budgeting),
harga transfer (transfer pricing),
akuntansi pertanggung jawaban (responsibilty
accounting), pusat-pusat biaya (cost
centre), pusat-pusat laba (profit
centres) dan analis varian (variance
analys) beroperasi dalam tapal batas antara kerja sama dan konflik
akuntansi dalam hal ini dapat sedemikian rupa menangani konflik dan pada saat
yang sama mendorong adanya kerja sama untuk kebutuhan atau kepentingan
organisasi bukan untuk kepentingan invidiu apa yang dimaksud francis disini
tidak lain pengelolaan kerja sama dan konflik yang baik dan seimbang sehingga
dengan cara demikian kerjasama dan konflik dapat menjadi unsur yng sangat
dinamis dalam aktivitas perusahaan.
Keempat adalah karakter akuntansi
tentang hal ini francis beragumentasi bahwa wacana akuntansi (accounting discourse) mampu menciptakan
suatu pengertian tentang pengalaman ekonomi kita dan makna pengalaman tersebut
bagi kehidupan kita. Wacana akuntansi dalam pandangan francis secara sederhana
mengkui bahwa kapasitas kita untuk mengerti kejadian-kejadian “nyata“ dapat
dilakukan dengan melalui wacana khusus yang diciptakan oleh akuntasi. Disini
kita harus memilih tentang apa yang harus
kita perhitungkan, kapan saat yang tepat untuk memperhitungkannya, dan
kapan harus memperhitungkanya. Wacana khusus seperti apa sebelumnya yang dimaksud
dengan pendapatan (revenue), kapan
pendapatan tersebut dapat kita akui dan bagaimana kita menghitung dan
melaporkannya merupakan wacana khusus akuntansi atau produk – produk tata
bahasa (grammar) , sintax (syntax) dan pengugunaan konvensional
dari bahasa akuntansi, wacana tersebut
diciptakan oleh kita yang kegunaannya terletak pada kapasitas transformatif dan
moralitas.
Terakhir adalah penyebaran informasi
ekonomi. Fungsi umum dari akuntansi yang umumnya dikenal adalah fungsi jasa
yang menyediakan informasi ekonomi untuk pengambilan keputusan. Francis dalam
hal ini berkeberatan bila fungsi penyebaran informasi ekonomi tersebut
didefinisikan secara sempit bahwa misalnya, penyedia modal ( investor dan
kreditor ) akan diberi pre-eminance. Dalam masyarakat yang majemuk demikian
kata francis kebajikan (virtue)
akuntansi justru terletak pada kapasitasnya untuk menceritakan sejarah
(informasi) ekonomi yang luas (banyak dan majemuk) tentang organisasi kepada
masyarakat luas dan beragam yang berminat pada wacana tersebut. Namun
sayangnya, wacana akuntansi yang ada sekarang telah mereduksi keberagaman tadi
pada satu “kesamaan” (sameness),
yaitu pada interest of capital saja.
Apa yang dikemukakan riahi-belkaoui dan
Francis di atas tidak lain merupakan suatu fenomena yang menunjukan semakin
meningkatkan perhatian akan pentingnya penerapan etika dalam dunia akuntansi
pada khususnya dan dunia bisnis pada umumnya. Hal ini demikian, karena adanya
sifat dasar dan pola fikir sistem ekonomi (yang mempunyai kecenderungan besar
untuk selalu mengakumulasi laba dan ekspansi modal) yang memenuhi perilaku para
pelaku bisnis dan menggiring mereka pada perilaku negatif. Perilaku negatif ini
dapat kita lihat misalnya, pada bisnis yang bersifat monopoli, ekploitasi karyawan
atau buruh oleh manajemen dan pemilik modal, kesewenangan dalam eksploitasi
sumber daya alam tanpa memikirkan kelestariannya, dan lain sebagainya.
Al-Faruqi sehubungan dengan pandangan
tentang begitu pentingnya penerapan nilai-nilai etika dalam masyarakat ini,
secara tegas mengatakan bahwa tidak ada satu masyarakat pun di dunia ini yang
dapat eksis, atau bertaham hidup lama tanpa moralitas. Jadi, tanpa nilai-nilai
etika perilaku negatif tadi akan semakin kuat merusak baik tatanan
sosial-ekonomi masyarakat maupun lingkungan hidup dan kelestarian sumber daya
alam.
B.
Teori-Teori Etika
Dalam
uraian sebelumnya secara singkat telah disinggung bahwa dalam masyarakat yang
majemuk terdapat sistem nilai etika yang majemuk (banyak dan berbeda antara
satu dengan yang lain) pula. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan akan terjadi
konflik antara kelompok masyarakat tertentu dengan yang lain. Fenomena
(kemajemukan) ini memang sulit dihindarkan, karena kemajemukan itu sendiri
merupakan fenomena yang “alamiah”. Dengan kata lain, kemajemukan itu sebetulnya
memang harus ada, namun disamping kemajemukan tersebut harus ada sebuah nilai
yang sifatnya universal dan dapat diterima oleh semua pihak. Tentang hal ini,
De George mengungkapkan bahwa: Di samping perbedaan-perbedaan dalam kebiasaan
(hidup sehari-hari) dan praktik-praktik moral dari masyarakat yang satu ke
masyarakat yang lain dan dari masa ke masa, terdapat (pula) kesepakatan dasar
dalam sejumlah besar isu-isu sentral.
Kesepakatan
dasar (basic agrament) tersebut tidak
lain adalah nilai-nilai universal yang secara fitrah diakui dan disetujui
bersama oleh berbagai pihak tanpa ada batas dimensi ruang dan waktu. Contoh
dari nilai-nilai universal ini misalnya, adalah keadian dan kebenaran. Tidak
ada seorang pun atau satu masyarakat pun yang akan menolak kedua nilai
tersebut, karena kedua nilai tersebut secara inheren ada dalam diri setiap
manusia. Namun pencarian nilai keadilan dan kebenaran tersebut bukan merupakan
sebuah usaha yang mudah, karena persepsi seorang individu tentang nilai
tersebut akan berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain.
Dengan demikian, persepsi nilai tersebut akhirnya juga akan beragam; dalam arti
bahwa memang ada kemajemukan dalam segi “bentuk”, tetapi hakikat keadilan dan
kebenaran itu sendiri tetap sama.
Kemajemukan
bentuk ini dapat kita lihat misalnya dalam teori etika yang di kemukakan oleh
seperti teori etika utilatarianisme, teori etika deontologis dan teori etika
yang bersumber dari agama berikut.
1.
Teori
Etika Utilitarianisme
Teori etika utilitarianisme pada
awalnya berasal dari bahasa inggris sebagai respon terhadap revolusi
industri yang telah mengubah dunia barat
dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, lokomotif utama dari teori
ini tidak lain adalah Jeremy Bentham seorang filusuf yang lahir di london pada
tanggal 5 febuari 1748 dasar pemikiran yang mengantarkan bentham dalam
pengembangan teori ini terletak pada prinsip utilitas (utility). Utilitas, dalam hal ini memiliki makna bahwa : Sesuatu
tindakan akan dinyatakan baik atau salah tergantung pada kecenderungannya untuk
memberikan kebahagiaan yang besar bagi sejumlah besar individu. Bentham memulai
teorinya dengan mengambil hedonisme psikologis (physicological hedonism) sebagai sebuah fakta yang memandang bahwa
: Semua manusia dalam kenyataannya selalu berusaha mendapatkan kenikmatan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain). Berdasarkan hedonisme psikologis ini bentham kemudian membangun
teori etika utilatarianisme , dari pengertian utilitas dan hedonisme psikologis
diatas , kita dapat melihat bahwa yang menjadi ukuran utama bagi teori utama
utilatarianisme untuk menilai sebuah tindakan (apakah tindakan tesebut dapat
dikatakan benar atau salah ) adalah hasil atau konsekuensi dari tindakan tersebut.
Sebuah tindakan tidak memiliki nilai baik atau buruk dalam dirinya sendiri tapi
nilai tersebut terletak pada hasil atau konsekuensi tindakan tersebut. Jadi,
bila sebuah tindakan dapat memaksimalkan kebahagiaan (pleasure) atau meminimalkan penderitaan maka tindakan tersebut
secara etiss dapat dikatakan benar. Sebaliknya, bila tindakan tersebut ternyata
menurunkan kabahagiaan atau menaikkan penderitaan maka tindakan tersebut tidak
etis (tidak benar).
2.
Teori
Etika Deontologis
Teori ini adalah teori yang di
bangun oleh Immanuel Kant (1724-1804), seorang filosof jerman yang mengklaim
(sebagaimana juga Bentham yang menganggap bahwa “kebahagiaan” sebagai klaim
tunggal atas tujuan hidup manusia) bahwa “iktikad baik” (a good will) adalah sebagai sau-satunya dasar moralitas suatu
tindakan. Dengan demikian, berbeda dengan Bentham Kan beranggapan bahwa sebuah
tindakan di anggap baik bukan karena hasil atau konsekuensi yang di hasilkan
oleh tindakan tersebut, tetapi sebaliknya tindakan tersebut di tentukan oleh
“iktikad baik” dari pelaku tindakan,”sebagaimana yang dikemukakan oleh Borchert
dan Steward di bawah ini:
Kebaikan... tergantung pada iktikad
baik seseorang... oleh karena itu, tak satupun dari sesuatu adalah baik tanpa
kualifikasi-kualifikasi tersebut adalah bahwa segala sesuatu itu adalah baik
jika diiringi oleh iktikad baik. [atau singkatnya]: hanya ada satu hal yang
baik tsnps kuslifikasi, dan itu adalah “iktikad baik” (a good will). Kekurangan yang lain tindaklah menjadi masalah, yang
penting adalah bahwa seseorang itu baik bilaia memiliki niat baik, yaitu seseorang
yang motifasinya baik.
Yang di maksud dengan “iktikad
baik”, menurut Kant adalah tindakan yang dilakukan untuk alasan-alasan prinsip:
dari rasa kewajiban (a sense of duty),
tidak ada yang lain. Bila seeorang dengan “iktikad baik", misalnya,
melakukan suatu tindakan ysng dengan tindakan tersebut mengakibatkan
malapetaka, maka secara etis orsng tersebut tidak dapat disalahkan. Tapi
sebaliknya, secara etis tindakan tersebut dapat dibenarkan. Jadi, apapun dari
akibat tindakan tersebut tidak akan mengubah nilai etis tindakan yang telah
diperbuat tadi. Seseorang misalnya, dengan ikhlas berusaha menolong orang lalin
yang sedang terseret ombak di laut lepas. Namun, karena kekuatan ombak cukup
besar kedua orang tersebut akhirnya tenggelam. Perbuatan menolong yang
dilakukan oleh penolong tadi, meskipun mengakibatkan kematian bagi dirinya
sendiri dan penderitaan bagi keluarga dan sahabat-sahabat yang ditinggalkannya adalah
tindakan yang secara etis benar. Yang paling penting disini adalah ”iktikad
baik” yang digunakan sebagai acuan untuk membenarkan atau menyalahkan suatu
tindakan.
Seperti yang dikatakan di atas
bahwa “iktikad baik” adalah tindakan yang dilakukan karena alasan prinsip,
yaitu dari rasa kewajiban, konsep kewajiban dalam arti ketentuan yang harus di
lakukan oleh seseorang yang di kemukakan oleh Kant merupakan pengembangan dari
konsep kewajiban dalam arti khusus (di samping juga konsep yang di ambil dari
agama kristen protestan), seperti kewajiban sebagai orang tua, kewajiban
sebagai warga negara, kewajiban sebagai pejabat negara dan lain-lainnya. Dari
konsep yang spesifik ini Kant mengembangkannya kedalam konsep kewajiban yang
bersifat universal dengan mengabaikan tentang kegunaan (utility) Artinya, kewajiban hanya dilakukan untuk kepentingan
kewajiban itu sendiri (duty for duty’s
sake), bukan untuk meningkatkan atau memperoleh kebahagiaan.
Kewajiban (duty), dalam konsep yang dikemukkan oleh Kant, tidak di definisikan
ke dalam hal “isi”, tetapi secara murni dikaitkan dengan “ketentuan formal” (formal requirement) yang tidak lain
adalah hukum moral (moral law) yang
dalam hal ini punya konotasi religius. Mengapa demikian? Karena kewajiban (duty) melibatkan tindakan yang di
lakukan atas dasar prinsip mengikuti prinsip universal, bukan sederhana reaksi
yang dilakukan sebagai respons terhadap situasi tertentu. Hukum moral disini,
menurut Kant, bukanlah sesuatu yang begitu saja meminta kita untuk
melaksanakannya, tetapi hukum itu merupakan ekspresi dari akal murni. Artinya, meskipun
hukum moral itu adalah katakanlah sebagai hukum yang di turunkan Tuhan, namun
hukum itu tetap secara rasional dapat di terima oleh akal manusia, demikian
juga hukum moral, yang di buat manusia. Degan kata lain, hukum moral adalah
hukum yang dibangun oleh manusia rasional untuk dirinya dan untuk
masyarakatnya.
3.
Teori
Etika yang Bersumber dari Agama
Agama dalam teori etika ini,
merupakan sumber yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengetahui atau
membedakan yang baik dari yang buruk dan yang benar dari yang salah. Mengapa
agama dijadikan sumber nilai? Karena hanya tuhanlah yang memiliki otoritas
tinggi dalam menetapkan nilai-nilai yang baik dan yang benar. Tentang hal ini,
Chryssides and Kaler berkomentar bahwa: Jika tuhan itu ada lalu siapa yang
lebih baik dari tuhan sendiri dalam memutuskan apa yang benar apa yang salah?
Jika tuhan itu maha mengetahui, maka pasti dialah pemegang ototrites terpercaya
atas para ahli etika...
Oleh karena itu, masyarakat yang
percaya akan adanya tuhan akan membangun nilai-nilai etikanya berdasarkan pada
ajaran agama masing-masing. Umat islam, misalnya, akan membangun nilai-nilai
etikanya berdasarkan pada kitab sucinya, yaitu Al-Qur’an, orang nasrani akan
berdasarkan pada bibel dan orang yahudi menggunakan taurat. Menurut mereka,
nilai yang baik dan yang benar hanya dapat di ketahui melalui kitab suci mereka
karena hanya Tuhanlah yang Maha mengetahui dan dialah pemegang otoritas
tertinggi dalam menentapkan nilai-nilai tersebut.
Yang membedakan teori ini dengan
teori etika sekuler lainnya adalah bahwa ada keyakinan yang kuat di antara para
pemeluk agama tentang adanya “ realitas supranatural” disamping realias dunia
yang sedang di alami sekarang ini. Dengan dasar keyakinan ini, mereka, dalam
hidup di dunia ini selalu berusaha melakukan tindakan yang sesuai dengan ajaran
agama mereka. Dengan cara ini mereka yakin bahwa apa yang mereka perbuat akan
menghantarkan mereka kepada “realitas supranatural” tadi.
Disamping itu, teori yang berdasarkan
pada nilai agama ini juga memberikan sebuah konsep yang menyatakan bahwa pelaku
tindakan yang baik dan benar menurut etika agama akan mendapatkan pahala atas
apa yang telah di perbuatnya itu. Sebaliknya, bila ia melakukan tindakan yang
tidak di benarkan oleh etika agama, maka ia akan berdosa atas perbutannya itu.
Konsep ini pula yang memberikan suatu keyakinan bahwa perbuatan baik atau
berbuat kebajikan merupakan jalan menuju surga, sebaliknya perbuatan dosa akan
menggiring pelakunya pada siksa yang pedih. Dalam masyarakat tertentu,
pengertian semacam ini tertanam kuat
dalam kepribadian setiap individu, sehingga perilaku sehari-hari cenderung
untuk selalu mempertimbangkan konsep tadi.
Dalam teori etika yang sekuler, konsep
semacam ini sulit di temukan, karena ruang lingkup yang menjadi kajian mereka
terbatas pada objek yang secara empiris dapat diketahui dan secara nalar dapat
dipertanggung jawabkan. Terbentuknya teori-teori etika memang sangat tergantung
pada persepsi seseorang tentang realitas (ontologi) dan persepsi itu sendiri
tergantung pada perspektif yang dimiliki oleh orang tersebut. Ulama – ulama
besar seperti, al- Hasan al-Basri (m.728),Ibn Abi’l-Dunya (894), Al-Farabi
(m.[meninggal]950), Yahya Ibn Adi (m.974), Ahmad Ibn Muhammad Miskawaih
(m.1274), dan Jalal-al-Din al –Razi (m.1209), Nasir al Din al-tusi (m.1274) dan
jalalal-Din-Dawwani (m. 1501) tentu memilki persepsi dan perspektif sendiri -
sendiri tentang nilai-nilai etika.
C.
Struktur Kode Etik
Kode Etik ini terdiri dari 3 bagian:
1.
Aspek Syari’ah sebagai prinsip dasar dari kode etik
akuntan
2.
Prinsip etika untuk akuntan
3.
Peraturan dari perilaku etika untuk akuntan
Aspek pertama merupakan dasar dari kode etik berupa prinsip syariah. Hukum
Islam mencakup beberapa aturan hukum yang berkaitan dengan praktek akuntansi
yang dapat diterapkan dalam praktek akuntansi. Menurut Islam, akuntan harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.
Akuntan harus mengetahui dan meyakini Islam sebagai
cara hidupnya.
2.
Akuntan harus memiliki karakter yang baik, jujur, dan
terpercaya.
3.
Akuntan harus adil, efisien, dan independen.
4.
Akuntan harus bertanggung jawab kepada masyarakat dan
negara.
5.
Akuntan harus bertanggung jawab untuk melaporkan
setiap transaksi yang bertentangan dengan hukum Islam.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam prinsip akuntansi dan
transaksi yakni disebutkan sebagai berikut:
1.
Prinsip akuntansi yang diterima umum harus dipatuhi
jika tidak bertentangan dengan hukum Islam.
2.
Akuntansi sosial adalah prinsip akuuntansi yang sangat
penting.
3.
Transaaksi yang tidak sesuai dengan hukum Islam harus
dihindarkan.
aspek kedua merupakan prinsip umum kode etik yang diambil dari prinsip
dasar aspek pertama dan juga termasuk prinsip umum kode etik yang umum dikenal
dalam profesi akuntan. Akhirnya aspek ketiga merupakan aspek procedural atau
aturan yang diambil dari aspek kedua. Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan
pedoman bagi akuntan mana perilaku yang sesuai dan tidak sesuai dengan kode
etik yang ditentukan syari’ah dan professi yang timbul dalam menjalankan
professinya.
D.
Kode Etik Akuntansi dalam perspektif Islam
Accounting and Auditing Organization for
Islamic Financial Intitutions (AAOIFI) merumuskan
sebuah kode etik bagi akuntan dan auditor
internal disamping eksternal yang bekerja dalam lembaga keuangan Islam. Kode
etik akuntan ini adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari syari’ah
islam. Dalam sistem nilai Islam syariat ini ditempatkan sebagai landasan semua
nilai dan dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam setiap legislasi
dalam masyarakat dan Negara Islam. Namun disamping dasar syari’at ini landasan
moral juga bisa diambil dari hasil pemikiran manusia yang didasarkan pada
keyakinan islam. Beberapa landasan Kode Etik Muslim ini adalah:
1.
Integritas
Islam menempatkan integritas sebagai nilai tertinggi yang memandu seluruh
perilakunya. Islam juga menilai perlunya kemampuan, kompetensi dan kualifikasi
tertentu untuk melaksanakan suatu kewajiban. Dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash
ayat 26 disebutkan bahwa:
“sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
Dan juga
dalam hadits Rasulullah SAW:
“Setiap kamu
adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan bertanggung jawab terhadap yang
dipimpinnya.”
Dan juga:
“Berikanlah
kembali kepercayaan kepada mereka yang kamu percayai terhadapnya”
Yang paling penting dari sikap integritas adalah kepercayaan dan Islam
selalu mensyaratkan perlunya jujur kepada Allah SWT, kepada masyarakat dan diri
sendiri.
2.
Prinsip kekhalifahan manusia di bumi
Allah berfirman:” Aku akan menciptakan Khalifah di bumi” (Al-Baqarah:30). Ini
berarti manusia dipercayakan untuk membangun dan memakmurkan bumi –Nya ini.
Kekhalifahan ini didasarkan pada prinsip yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaan
tertinggi di bumi ini adalah Allah SWT dan kepemilikan manusia terhadap
kekayaan yang di bumi ini bukanlah tujuan akhir tetapi sebagai sarana untuk
menjalani kehidupan dirinya, keluarganya dan masyarakat. Manusia harus
memperhatikan perintah dan larangan Allah selaku pemilik semua yang ada di bumi
ini dalam penggunaannya sebab manusia akan dimintai pertanggungjawaban
bagaimana ia menggunakan kekayaan itu.
3.
Keikhlasan
Landasan ini berarti bahwa akuntan harus mencari keridhaan Allah dalam
melaksanakan pekerjaannya bukan mencari nama. Pura-pura, hipokrit dan berbagai
bentuk kepalsuan lainnya. Menjadi ikhlas berarti akuntan tidak perlu tunduk
pada pengaruh atau tekanan luar tetapi harus berdasarkan komitmen agama, ibadah
dalam melaksanakan fungsi professinya. Tugas professi harus bisa dikonversikan
menjadi tugas ibadah. Jika hal ini bisa diwujudkan maka tugas akuntan menjadi
bernilai ibadah dihadapan Allah SWT disamping tugas professi yang berdimensi
material dan dunia.
4.
Ketakwaan
Takwa adalah sikap ketakutan kepada Allah baik dalam keadaan tersembunyi
maupun terang-terangan sebagai slaah satu cara untuk melindungi dari akibat
negative dan perilaku yang bertentangan dari syariah khususnya dalam hal yang
berkaitan dengan perilaku terhadap penggunaan kekayaan atau transaksi yang
cenderung pada kezaliman dan hal lain yang tidak sesuai dengan syariah.
ketakwaan akan dapat diwujudkan bila kita mematuhi semua perintah dan menjauhi
larangan Allah SWT. Allah berfirman dalam Al-Quran:
“Hai-hai orang yang beriman bertakwalah kepada Allah
dengan sebenar-benarnya takwa kepadanya (Ali-Imran: 102).
5.
Kebenaran dan bekerja secara sempurna
Akuntan tidak harus membatasi dirinya hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan
professi dan jabatannya tetapi juga harus berjuang untuk mencari dan menegakkan
kebenaran dan kesempurnaan tugas professinya dengan melaksanakan semua tugas
yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baik dan sesempurna mungkin. Hal ini
tidak akan bisa direalisir terkecuali melalui kualifikasi akademik, pengalaman
praktek, dan pemahaman serta pengalaman keagamaan yang diramu dalam pelaksanaan
tugas professinya. Sebagaimana Allah berfirman:
“ Allah
memerintahkan kamu berbuat adil dan berbuat baik”
(An-Nahl: 90)
6.
Takut kepada Allah dalam setiap hal
Seorang muslim meyakini bahwa Allah selalu melihat dan menyaksikan semua
tingkah laku hambany-Nya dan selalu menyadari dan mempertimbangkan setiap
tingkah laku yang tidak disukai Allah. Ini berarti bahwa seorang
akuntan/auditor harus berperilaku”takut”kepada Allah tanpa harus menunggu dan
mempertimbangkan apakah orang lain atau atasannya setuju atau menyukainya.
Sikap ini merupakan sensor diri sehingga ia mampu bertahan terus-menerus dair
godaan yang berasal dari pekerjaan professinya. Allah berfirman:
“sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (An-Nisa
1).
7.
Manusia bertanggungjawab dihadapan Allah
Akuntan muslim harus meyakini bahwa allah selalu mengamati semua
perilakunya dan dia akan mempertanggungjawabkan semua tingkah lakunya kepada
Allah nanti dihari akhirat baik tingkah laku yang baik maupun yang besar.
Karenanya akuntan harus berupaya untuk selalu menghindari pekerjaan yang tidak
disukai oleh Allah SWT karena dia takut akan mendapat hukuman nantinya dihari
akhirat. Sebagaimana firman Allah dalam QS Annisa ayat 6 dan QS Ali Imran ayat
199. Oleh karenanya akuntan/auditor eksternal atau internal harus selalu ingat
bahwa dia akan mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya dihadapan Allah dan
juga kepda public, professi, atasan dan dirinya sendiri.
E.
Prinsip Kode Etik
Berdasarkan kerangka dasar syariah
atau landasan kode etik akuntan diatas maka ditarik prinsip kode etik akuntan
sebagai prinsip yang menjabarkan dan tidak bertentangan dengan fondasi etika
yang didadasrkan pada syariah diatas. Beberapa prinsip kode etik akuntan islam
AAOIFI adalah sebagai berikut :
1.
Dapat dipercaya
Dapat dipercaya mencakup bahwa
akuntan harus memiliki tingkat integritas dan kejujuran yang tinggi dan akuntan
juga harus dapat menghargai kerahasiaan informasi yang diketahuinya selama
pelaksanaan tugas dan jasa baik kepada organisasi atau langganannya.
2.
Legitimasi
Semua kegiatan professi harus yang
dilakukannya harus memiliki legitimasi dari hukum syariah maupun peraturan dan
perudang-undangan yan berlaku.
3.
Objektivitas
Akuntan harus bertindak adil, tidak
memihak, bebas dari konflik kepentingan dan bebas dalam kenyataan maupun dalam
penampilan.
4.
Kompetensi professi dan rajin
Akuntan harus memiliki kompetensi
professional dan dilengkapi dengan latihan-latihan yang dibutuhkan untuk
menjalankan tugas dan jasa professi tersebut dengan baik.
5.
Perilaku yang didorong keimanan
Perilaku akuntan harus konsisten
dengan keyakinan akan nilai islam yang berasal dari prinsip dan aturan syariah.
6.
Perilaku professional dan standar teknik
Akuntan harus memperhatikan peraturan
professi termasuk didalamnya standar akuntansi dan auditing untuk lembaga
keuangan syariah.
F.
Perturan Kode Etik
Beberapa peraturan kode etik antara
lain :
1.
Peraturan perilaku yang didasarkan pada prinsip dapat
dipercaya.
Akuntan harus melaksanakan tugas dan
kewajibannya dengan tingkat amanah, integritas, kejujuran dan kepatuhan yang
tertinggi.
Penjabarannya adalah :
a.
Menyajikan dan menyampaikan segala informasi baik yang
menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan dan menyampaikan pertimbangan professi
secara benar dan dengan menerapkan transparan.
b.
Menjaga diri dari pengungkapan informasi rahasia yang
diperoleh selama melaksanakan tugas dan jasa professi kepada sisapapun yang
tidak berhak terkecuali diwajibkan oleh peraturan atau sesuai standar akuntansi
dan auditing untuk lembaga keuangan syariah.
c.
Menjga diri dari menggunakan informasi rahasia
yang diperoleh selama melaksanakan tugas untuk kepentingan pribadi atau
kepenting pihak ketiga.
d.
Menjaga diri dari perilaku ang dilakukan secara aktif
atau pasif yang akan membahayakan pencapaian tujuan etis dan agama lembaga atau
organisasi.
2.
Peraturan perilaku yang didasarkan pada prinsip
legitimasi agama.
Beberapa peraturan perilaku etis yang menyangkut prinsip legitimasi agama
adalah:
a.
Akuntan harus melakukan tugas dan jasanya untuk
kepentingan Allah SWT dengan sebaik mungkin dan mengutamakan pelaksanaan
kewajiban itu di atas kepentingan yang lain dan meyakini bahwa dengan
menunaikan tugas kepada Allah dengan sendirinya akan melepaskan tugas yang lainnya.
b.
Akuntan bertanggungjawab untuk selalu memperhatikan
ketentuan dan prinsip syariah yang berkaitan dengan transaksi keuangan.
c.
Akuntan bertanggungjawab untuk memeriksa legitimasi
agama dari semua kejadian yang dicatat atau diperiksa dengan memperhatikan prinsip
dan hukum syariah yang ditetapkan oleh Alqur’an maupun Dewan Pengawas Syariah
perusahaan.
d.
Akuntan bertanggungjawab untuk memenuhi prinsip dan
peraturan syariah sebagaimana yang ditentukan oleh DPS yang memperhtikan
landasan formal dan kerangka hukum syariah ketika memastikan bahwa semu
transaksi, tindakan, dan perilaku secara umum selama pelaksanaan tugas dan jasa
profesinya.
3.
Peraturan perilaku yang didasarkan pada prinsip
objektivititas
Akuntan bertanggungjawab untuk
melindungi kebebasan profesinya baik dalam kenyataan maupun dalam
penampilannya. Dengan demikian dia harus menghindari situasi yang dapat
menimbulkan pertentangan kepentingan yang dapat menimbulkan pertentangan
kepentingan yang dapat mengancam netralitas dan keadilannya. Akuntan juga harus
menjauhi dirinya dari pengaruh pihak lain, agar objektivitas pertmbangan
profesinya dapat dipertahankan dan dia harus menghindari pemberian informasi
yang tidak benar. Berdasarkan prinsip objektivitas ini, akuntan
bertanggungjawab:
a.
Menolak semua jenis pemberian untuk kepentingan
material atau kebaikan yang dapat mengancam objektivitas pertimbangan
profesinya.
b.
Menghindari konflik yang dapat mengancam objektivitas
pertimbangan profesinya.
c.
Menghindari situasi yang dapat merusak independensi
profesinya baik dalam kenyataan maupun dalam penampilan seperti: memiliki
sejumlah saham dalam perusahaan yang diaudit atau memiliki kepentingan keuangan
dengan langganan atau lembaga lain yang berhubungan dengan langganan.
d.
Menghindari diri dari penugasan jasa professional lain
sewaktu mengaudit suatu langganan untuk menghindari kehilangan objektivitas
dalam melaksanakan audit laporan keuangan.
e.
Mehindari contigen fees (fee yang tergantung
pada hasil pemeriksaan misalnya fee dihitung sekian persen dari laba usaha).
Hal ini akan dapat merusak independensi dan objektivitas akuntan sewaktu
melakukan tugas atau jasa profesi.
4.
Peraturan perilaku yang didasarkan pada prinsip
kompetensi professional dan prinsip rajin.
Akuntan bertanggungjawab mengabdi
pada Allah SWT, masyarakat, profesi, atasan, langganan, dan dirinya dalam
melaksanakan tugas dan jasa profesinya secara rajin dan benar. Peraturan
dibidang ini adalah:
a.
Memilik tingkat pengetahuan yang cukup dan kemampuan
profesi, pemahaman syariah yang berkaitan dengan dengan transaksi keuangan dan
selalu menjaga kemampuannya melalui pengembangan keahlian terus menerus dalam
bidang profesi teruatama mengikuti standar akuntansi dan auditing yang baru.
b.
Menjaga diri dari menerima penugasan professional
terkecuali dia memiliki kompetensi atau staf atau system sehingga dapat
melaksanakan tugas dan jasa itu.
c.
Melakukan pekerjaan professional dengan kualitas
tinggi sesuai prinsip syariah dan aturan syariah.
d.
Mengembangkan rencana yang terpadu untuk melaksanakan
kewajiban dan tugas dan mengikuti program yang didesain untuk meyakinkan
terjaminnya control kualitas terhadap system dan bawahan dalam melaksanakan
tugas profesinya.
e.
Meyakinkan bahwa laporan yang disajikan oleh akuntan
intern lengkap, jelas, yang didukung oleh analisa dan informasi yang relevan
dan terpercaya
5.
Peraturan perilaku yang didasarkan pada prinsip
perilku yang didorong keyakinan pada Allah.
Dalam melaksanakan tugas dan jasa
profesi tindakan dan perilaku akuntan harus konsisten dengan nilai agama yang
diambil dari prinsip dan aturan syariah. Dijabarkan sebagai berikut:
a.
Secara tetap menyadari pengawasan dari Allah SWT.
b.
Secara tetap menyadari tanggung jawab di depan Allah
SWT di hari akhirat nanti.
c.
Ikhlas dalam melaksanakan tugas dan jasa profesi dan
menyadari keridhaan Allah SWT dan bukan untu mengabdikan kepada pihak selain
Allah SWT.
d.
Melaksanakan dan menghargai semua perjanjian.
e.
Bekerjasama dengan pihak lain sehingga semua tugas dan
jasa profesi dilaksanakan secara baik, lancar, dan efisien.
f.
Menunjukkan kasih saying dan persaudaraan demi
keridhaan Allah dan memperluas kerjasama dan kepercayaan antara dia dan pihak
yang berhubungan.
g.
Berlaku pemurah
dan baik dalam berhubungan dengan pihak lain dan sabar dalam menangani semua
masalah yang terjadi dalam praktek.
h.
Tunjukkan keteladanan bagi staf dan bawahan.
6.
Peraturan perilaku yang didasarkan pada prinsip
professional dan standar teknis
Perilaku professional membutuhkan
kepatuhan pada standar etika dan standar teknik tertinggi seperti standar
akuntansi dan auditing untuk lembaga keuangan syariah dalam melaksanakan tugas
dan jasa profesi.
Dalam kaitan ini maka penjabaran
peraturan kode etik ini adalah:
a.
Mematuhi standar akuntansi dan auditing untuk lembaga
keuangan syariah yang berlaku.
b.
Melakukan tugas dan jasa profesi dengan rajin.
c.
Menjaga diri dari penugasan atau kegiatan yang akan
membahayakan integritas, objektivitas, atau independensi dalam melaksanakan
tugas dan jasa profesi yang akan mendekreditkan profesi dan mengancam
kredibilitasnya. Hal ini mencakup:
o Menjaga diri
dari tindakan memasarkan diri dan keahliannya dengan cara yang tidak dibenarkan
oleh profesi atau bersifat memalukan.
o Menjauhkan
diri dari melakukan klam berlebihan tentang jasa profesi yang dapat
dilakukannya.
o Menjaga diri
dari tindakan melecehkan pekerjaan akuntan lain.
o Menjaga diri
dari memberikan komisi untuk mendapatkan penugasan dari langganan.
d. Ketika diminta untuk menggantikan akuntan
lain, akuntan baru harus memastikan alasan-alasan penggantian.
G.
Tujuan kode
etik
Professi akuntan dianggap sebagai salah satu fardhu kifayah atau kewajiban
kolektif untuk menyediakannya akuntansi berarti mencatat, dalam arti luas
mengukur, dan mengalokasikan hak diantara berbagai pihak secara adil. Konsep
keadilan ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An Nahl ayat 90 dengan
pengertian:
“Allah memerintahkan kamu untuk berbuat adil dan
mengerjakan pekerjaan yang baik”
Dan dalam
surat An-Nisa ayat 58:
“Allah telah memerintahkan kamu untuk mengembalikan
amanah kepada orang yang memberikan penugasan kepada kamu dan ketika kamu
mengadili diantara manusia maka berlaku adillah.”
Dan konsep adil ini juga ada dalam sistem akuntansi yang disebut dalam
prinsip “freedom from bias” . untuk menciptakan keadilan ini maka dirasa
perlu untuk memiliki kode etik untuk akuntan dan auditor sehingga diharapkan
dapat melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya.
Agar kode etik itu efektif maka harus ada penekanan moral yang solid dan
legitimate sebagai dasar dari prinsip dan etika yang dibuat. Sejauh ini kode
etik professi akuntan didasarkan kepada pemikiran manusia yang diatur oleh pola
fikir rasionalisme. Penegakan kode etik ini tergantung pada organisasi
professional atau komitmen pribadi saja yang dikontrol oleh publik.
Kenyataannya, apalagi di masyarakat yang longgar aturan moralnya, seperti di
Indonesia kode etik ini tidak berjalan efektif.
Dari perspektif Islam kode ini (untuk akuntan dan auditor) tentu harus
didasarkan kepada ketentuan syari’ah dan keyakinan Islam yang bersifat
fleksibel, permanen dan universal. Akuntansi adalah professi yang lahir dan
ditujukan untuk masyarakat, dengan demikian etika professi ini juga saling berkaitan
antara professi, dan nilai dan perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat
yang memiliki nilai Islam tentu saja etika professi, pendidikan, standar
akuntansi, serta aspek formal lainnya harus diwarnai oleh syariat Islam.
Kode etik yang diatur oleh AAOIFI ini berlaku juga bagi akuntan dan auditor
internal disamping eksternal yang bekerja dalam lembaga keuangan Islam.
Professi akuntan harus bertanggung jawab dan wajib mengikuti dan menerapkan
ketentuan syari’ah dalam setiap tugas, fungsi yang dilakukannya yang
jelas berpengaruh pada upaya menciptakan tegaknya syariat dalam lembaga
perusahaan maupun dalam laporan yang dihasilkannya.
Kode etik ini menyajikan kerangka etika untuk akuntan dan auditor yang
diambil dan dirumuskan dari prinsip dan syariat Islam. Dengan demikian diyakini
bahwa Akuntan Muslim akan termotivasi untuk mematuhi ketentuan syari’ah dan
tidak melakukan kegiatan yang bertentangan dengan syari’ah. Kode etik akan
didapat:
1.
Membantu membangun sikap kehati-hatian akuntan dengan
menarik perhatiannya pada isu etika dalam praktek professional sehingga dia
dapat memisahkan mana perilaku yang etis dan non etis sesuai ketentuan syari’ah
sebagai dimensi lain dari praktek professi yang umum.
2.
Untuk meyakinkan keakuratan dan keyakinan pada
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan sehingga akan memperluas
kredibilitas dan mempromosikan keyakinan terhadap jasa professi akuntan.
Sebagai tambahannya kode etik akan memperluas perlindungan pada kepentingan
lembaga dan pihak lain yang terlibat didalamya.
KESIMPULAN
Etika
sebagai pemikiran dan pertimbangan moral memberikan dasar bagi seseorang maupun
sebuah komunitas untuk dapat menentukkan baik buruk atau benar salahnya suatu
tindakan yang akan diambilnya. Dalam perkembangannya keragaman pemikiran etika
kemudian berkembang membentuk suatu teori etika. Teori etika dapat disebut sebagai gambaran rasional
mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta
prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut
secara moral diperintahkan atau dilarang. seperti yang dikeemukakan pada teori
etika utilatarianisme, teori etika deontologis dan teori etika yang bersumber
dari agama.
Accounting
and Auditing Organization for Islamic Financial
Intitutions (AAOIFI) merumuskan sebuah kode
etik bagi akuntan dan auditor internal disamping eksternal
yang bekerja dalam lembaga keuangan Islam. Kode etik akuntan ini adalah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari syari’ah islam. Dalam sistem nilai
Islam syariat ini ditempatkan sebagai landasan semua nilai dan dijadikan
sebagai dasar pertimbangan dalam setiap legislasi dalam masyarakat dan
Negara Islam.
Hukum Islam mencakup beberapa aturan
hukum yang berkaitan dengan praktek akuntansi yang dapat diterapkan dalam
praktek akuntansi. Menurut Islam, akuntan harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1.
Akuntan harus mengetahui dan meyakini Islam sebagai
cara hidupnya.
2.
Akuntan harus memiliki karakter yang baik, jujur, dan
terpercaya.
3.
Akuntan harus adil, efisien, dan independen.
4.
Akuntan harus bertanggung jawab kepada masyarakat dan
negara.
5.
Akuntan harus bertanggung jawab untuk melaporkan
setiap transaksi yang bertentangan dengan hukum Islam.
Beberapa hal
penting yang perlu diperhatikan dalam prinsip akuntansi dan transaksi yakni disebutkan
sebagai berikut:
1.
Prinsip akuntansi yang diterima umum harus dipatuhi
jika tidak bertentangan dengan hukum Islam.
2.
Akuntansi sosial adalah prinsip akuuntansi yang sangat
penting.
3.
Transaaksi yang tidak sesuai dengan hukum Islam harus
dihindarkan.
Tujuan
diterapkanya kode etik dalam praktik akuntansi adalah sebagai berikut.
1.
Membantu membangun sikap kehati-hatian akuntan dengan
menarik perhatiannya pada isu etika dalam praktek professional sehingga dia
dapat memisahkan mana perilaku yang etis dan non etis sesuai ketentuan syari’ah
sebagai dimensi lain dari praktek professi yang umum.
2.
Untuk meyakinkan keakuratan dan keyakinan pada
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan sehingga akan memperluas
kredibilitas dan mempromosikan keyakinan terhadap jasa professi akuntan.
Sebagai tambahannya kode etik akan memperluas perlindungan pada kepentinga
lembaga dan pihak lain yang terlibat didalamya.
DAFTAR
PUSTAKA
Harahap, Sofyan S. 2002. Auditing Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Pustaka
Kuantum.
Mandala, Muchtar. 2004. Akuntansi Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Pradja, Juhaya. 2015. Akuntansi Keuangan Syariah, Teori dan Praktik.
Bandung : Pustaka Setia.
Triyuwono, Iwan. 2012. Akuntansi Syariah, Perspektif, Metodologi, dan
Teori. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Terimakasih.. tulisannya sangat bermanfaat..
BalasHapusMy blog