Langsung ke konten utama

KHIYAR, IQALAH, DAN HUKUM TAS’IR DALAM JUAL BELI


KHIYAR, IQALAH, DAN HUKUM TAS’IR
DALAM JUAL BELI

MAKALAH
disusun untuk memenuhi mata kuliah Fiqh Muamalah
Dosen: Evi Soviah, M.Ag.

Oleh:
*      Reka Gumilang
: 1143070180
*      Resiana Anindia
: 1143070183
*      Retty Sugiarti
: 1143070184
*      Ridha Fachrizany
: 1143070190
*      Rizky Zulfia Ningrum
: 1143070199
*      Saadiah Wulan
: 1143070209
*      Sandi Ufti Wedisa
: 1143070212
*      Shopia Naila Amani
: 1143070216
*      Siti Lisnawati
: 1143070220

MANAJEMEN KEUANGAN SYARI’AH
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2015-2016




KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT.yang telah memberikan rahmat, hidayah serta inayah-Nya sehingga dapat terselesaikannya penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada jungjungan kita Nabi Muhammad SAW.kepadakeluarganya, para sahabatnya, dan sampai kepada kita selaku umatnya. Makalah ini berjudul “ Khiyar, Iqalah, dan Hukum Tas’ir dalam Jual beli”.
Makalah ini mengupas berbagai hal yang berhubungan dengan khiyar, iqalah, dan hukum tas’ir dalam jual beli. Sebagai tambahan kazanah yang tidak kalah penting disinggung pula sedikit perbedaan antara khiyar dengan garansi.Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Evi Sopiah, M.Ag. selaku dosen mata kuliah Fiqh Muamalah yang telah memberikan ilmunya dalam mata kuliah ini.
Penulis menyadari bahwa tidak ada gading yang tidak retak, begitu juga dengan makalah yang disajikan  masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca diharapkan dapat menunjang pembuatanmakalah selanjutnya.Akhir kata penulis mengucapkan semoga bermanfaat untukpara pembaca.


Bandung, 27 Oktober 2015


Penulis







DAFTAR ISI

Halaman Sampul............................................................................. i
Kata Pengantar.............................................................................. ii
Daftar Isi......................................................................................... iii                                  
Bab I Pendahuluan..........................................................................
A.    Latar Belakang ................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah ........................................................... 3
C.     Tujuan .............................................................................. 3
Bab II Pembahasan.........................................................................
A.    Khiyar .............................................................................. 4
1.      Arti dan Jumlah Khiyar.............................................. 4
2.      Khiyar paling masyhur............................................... 5
a.         Khiyar Syarat..................................................... 5
b.        Khiyar Masyru’ dan Khiyar Rusak.................... 6
c.         Khiyar Majlis..................................................... 13
d.        Khiyar ‘Aib....................................................... 16
3.         Perbedaan Garansi dengan Khiyar........................... 21
B.     Iqalah............................................................................... 26
1.      Pengertian Iqalah....................................................... 26
2.      Syarat Iqalah............................................................. 28
C.     Hukum Tas’ir................................................................... 28
1.      Pengertian Tas’ir........................................................ 28
2.      Dasar Hukum at-Tas’ir.............................................. 28
3.      Macam-macam Tas’ir................................................ 30
Bab III Kesimpulan....................................................................... 32
Daftar Pustaka............................................................................... 34

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Islam merupakan suatu sistem dan pedoman hidup (way of life). Sebagai suatu pedoman hidup, ajaran islam terdiri dari aturan-aturan yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam ini mencakup tiga bagian utama sebuah bangunan yakni aqidah, akhlak, dan syariah. Sebagaimana yang kita ketahui aqidah dan ahklak bersifat permanen dan kekal dalam Al-quran sehingga tidak ada modifikasi sedangkan syariah selalu berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
Sesuai dengan skema  zarqa, syariah terdiri atas bidang muamalah dan bidang ibadah. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai bidang muamalahnya. Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang penuh kemudahan dan selalu memperhatikan berbagai maslahat dan keadaan, mengangkat dan menghilangkan segala beban umat. Termasuk dalam maslahat tersebut adalah sesuatu yang Allah syariatkan dalam jual beli berupa hak memilih bagi orang yang bertransaksi, supaya dia puas dalam urusannya dan dia bisa melihat maslahat dan madharat yang ada dari sebab akad tersebut sehingga dia bisa mendapatkan yang diharapkan dari pilihannya atau membatalkan jual belinya apabila dia melihat tidak ada maslahat padanya.Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. sebagai berikut:
الْبَيِّعَانِ قَالَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللهُ صَلَّى اللهِ رَسُولَ أَنَّ : عَنْهُمَا اللهُ رَضِيَ عُمَرَ ابْنِ حَدِيثُ
الْخِيَارِ بَيْعَ إِلاَ يَتَفَرَّقَا لَمْ مَا صَاحِبِهِ عَلَى بِلْخِيَارِ مِنْهُمَا وَاحِدٍ كُلُّ

Diriwayatkan dari Ibnu Umar katanya: sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda: “Penjual dan pembeli, masing-masing mempunyai hak khiyar yaitu kesempatan berpikir selagi mereka belum berpisah melainkan jual beli khiyar”.

Selain khiyar, dalam jual beli juga sering disisipkan yang namanya garansi. Garansi telah dikenal oleh berbagai kalangan masyarakat. Garansi merupakanjaminan atau tanggungan. Ia termasuk salah satu bentuk layanan purna yang diberikan oleh penjual kepada pembeli, dalam bentuk perjanjian tertulis.
Garansi dalam Islam memang diperbolehkan dilihat dari segi kemanfaatannya kepada masyarakat luas tentunya sangat besar sekali, sebab dengan adanya perjanjian garansi dalam jual beli ini sekaligus sebagai perlindungan terhadap konsumen yang notabene tingkat ekonominya berada di bawah pihak penjual. Garansi dengan khiyar memang sangat berbeda tetapi mempunyai kesamaan yaitu sedikit persamaan yaitu sama-sama merupakan jaminan mutu, sama-sama memberikan tenggang waktu ketika melakukan jual beli.
Bahkan tidak hanya itu saja, tetapi pembahasan tentang jual beli mendapatkan porsi paling besar diantara transaksi-transaksi lainnya. Dalam transaksi jual beli, kadang-kadang terjadi penyesalan yang dialami oleh salah satu pihak yang bertransaksi atas transaksi yang telah sah dan ingin membatalkannya. Tentu saja dalam pemutusan akad ini kadang-kadang menimbulkan kerugian di salah satu pihak, untuk menjamin tergantinya kerugian itu dan agar pihak yang berakad tidak seenaknya sendiri membatalkan akad.Dalam makalah ini akan membahas pemutusan akad melalui kesepakan bersama sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau Iqalah.
Makalah ini juga mengkaji penetapan harga oleh negara dalam koridor fikih dengan mempertimbangkan realitas ekonomiterutama pada bagaimana peran negara dalam mewujudkan kestabilan harga dan bagaimana mengatasi masalah ketidakstabilan harga. Para ulama berbeda pandapat mengenai boleh tidaknya negara menetapkan harga. Masing-masing golongan ulama ini memiliki dasar hukum dan interpretasi.


B.  Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan beberapa pokok masalah berikut.
1.             Bagaimanakah khiyar dalam jual beli?
2.             Apa perbedaan khiyar dengan garansi?
3.             Apa yang dimaksud dengan iqalah?
4.             Bagaimanakah hukum tas’ir dalam jual beli?
C.  Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.             Untuk mendeskripsikan khiyar dalam jual beli.
2.             Untuk menjelaskan perbedaan garansi dengan khiyar.
3.             Untuk menjelaskan iqalah.
4.             Untuk mendeskripsikan hukum tas’ir dalam jual beli.
D.  Manfaat
Beberapa manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini yakni sebagai berikut.
1.             Menambah kazanah ilmu pengetahuan mengenai materi yang dibahas yaitu khiyar, iqalah, dan hukum tas’ir khususnya bagi penulis umumnya bagi pembaca.
2.             Makalah ini dapat dijadikan salah satu sumber bacaan bagi pembaca.









BAB II
PEMBAHASAN

A.  Khiyar
1.    Arti dan Jumlah Khiyar
Telah disinggung bahwa akad yang sempurna harus terhindar dari khiyar, yang memungkinkan aqid (orang yang akad) membatalkannya. Pengertian khiyar menurut ulama fiqih adalah:[1]
رُ رُخِيَا الْخِيَا كَانَ اِنْ فَسْخِهِ اَوْ الْعَقْدِ اِمْضَاءِ فِى الْحَقُّ قِدِ لِلْمُتَعَا يَكُوْنَ أَنْ
تَعِيْينٍ رُخِيَارُ الْخِيَا كَانَ اِنْ الْبَيْعَيْنِ اَحَدُ يَخْتَارَ اَنْ اَوْ عَيْبٍ اَوْ اَوْرُوْسَةٍ شَرْطٍ
Artinya:
“suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikannya atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib atau ru’yah, atau hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar ta’yin.”
Jumlah khiyar sangat banyak dan diantara para ulama telah terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, jumlahnya 17.Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian, yaitu khiyar al-taammul (melihat, meneliti), yakni khiyar secara mutlak dan khiyar naqish (kurang), yakni apabila terdapat kekurangan atau ‘aib pada barang yang dijual (khiyar al-hukmy). Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa khiyar majlis itu batal.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar terbagi dua, khiyar at-tasyahi adalah khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua adalah khiyar naqishah yang disebabkan adanya perbedaan dalam lafazh atau adanya kesalahan dalam perbuatan atau adanya penggantian. Adapun khiyar yang didasarkan syara’ menurut Syafi’iyah ada 16 (enam belas) dan menurut ulama Hanabilah jumlah khiyar ada 8 (delapan) macam.[2]
2.    Pembahasan khiyar paling masyhur
Dalam menetapkan pembahasan ini, hanya akan dibahas khiyar yang paling masyhur saja, diantaranya sebagai berikut:
a)             Khiyar Syarat
Pengertian khiyar syarat menurut ulama fiqih adalah:[3]
اَوْ الْعَقْدِ فَسْخِ فِى الْحَقُّ هِمَا لِغَيْرِ اَوْ لِكِيْلَهُمَا اَوْ الْعَاقِدَيْنِ حَدِ لِأَ يَكُوْنَ أَنْ
مَعْلُوْمَةٍ مُدَّةٍ خِلاَلَ اِمْضَائِهِ
Artinya:
“Suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad atau masing-masing yang akad atau selain kedua pihak yang akad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan.”
Khiyar syarat ini diartikan juga sebagai penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun oleh pembeli.[4]Khiyar disyariatkan antara lain untuk menghilangkan unsur kelalaian atau penipuan bagi pihak yang akad. Contoh dari khiyar syarat seperti, seorang pembeli berkata: “saya  jual rumah ini dengan harga Rp.100.000.000,00- dengan  syarat khiyar selama tiga hari”. Rasulullah Saw. bersabda:
(البيهقى رواه) لَيَالٍ ثَلاَثَ اِبْتَعْتَهَا سِلْعَةٍ كُلِّ فِى بِلْخِيَارِ أَنْتَ
 “Kamu  boleh khiar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam”. (Riwayat Baihaqi).




b)             Khiyar Masyru’ (disyariatkan) dan khiyar rusak
1)            Khiyar Masyru’
Khiyar yang disyariatkan adalah khiyar yang ditetapkan batasan waktunya. Hal itu didasarkan pada hadist Rasulullah SAW. tentang riwayat Hibban Ibn Munqid yang menipu dalam jual-beli, kemudian perbuatannya itu dilaporkan kepada Rasulullah SAW., lalu beliau berkata:
(مسلِم رواه) اَيَّامٍ ثَلاَثَةَ اَلْخِيَارُ وَلِى لاَخِلاَبَةَ : فَقُلْ يَعْتَ بَا اِذَا
Artinya:
“Jika kamu bertransaksi (jual-beli), katakanlah, tidak ada penipuan dan saya khiyar selama tiga hari.” (HR. Muslim)
2)            Khiyar Rusak
Menurut pendapat paling masyhur dikalangan ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, khiyar yang tidak jelas batasan waktunya adalah tidak sah, seperti pernyataan, “Saya beli barang ini dengan syarat sayaberkhiyar selamanya”. Perbuatan ini mengandung unsur jahalah (ketidakjelasan).
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual-beli seperti itu batal. Khiyar sangat menentukan akad, sedangkan batasannya tidak diketahui, sehingga akan menghalangi aqid (orang yang melakukan akad) untuk menggunakan (tasharruf) barang tersebut.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jual-beli tersebut fasid, tetapi tidak batal. Jika syarat tersebut belum sampai tiga hari atau tidak bertambah dari tiga hari, atau memberikan penjelasan tentang masa khiyar, akad menjadi sah sebab telah hilang penyebab yang merusakannya. Selain itusyarat khiyar berubah sesuai dengan landasan asalnya, yaitu tiga hari sebagaimana dinyatakan dalam hadist riwayat Hibban Ibn Munqid. Dengan demikian, persyaratan khiyar tanpa batas dengan sendirinya gugur oleh landasan asal tersebut.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa penguasa diharuskan membatasi khiyar secara adat sebab khiyar bergantung pada barang yang dijadikan akad. Namun tidak boleh terlalu lama melewati batasan khiyar dengan sesuatu yang tidak jelas, seperti mensyaratkan khiyar turunnya hujan atau sampai datangnya seseorang.
v   Batasan khiyar masyru’.
Ulama Hanafiyah, Jafar, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar dibolehkan dengan waktu yang ditentukan selagi tidak lebih dari tiga hari. Golongan ini, selaim beralasan dengan hadist dari Munqid di atas, juga mendasarkan pada hadist dari Ibn Umar tentang pertanyaan Anas:
. اَيَّامٍ اَرْبَعَةَ الْخِيَارَ عَلَيْهِ وَاشْتَرَطَ بَعِيْرًا رَجُلٍ مِنْ اِشْتَرَى رَجُلًا أَنَّ
.اَيَّامٍ ثَلاَثَةُ الْخِيَارُ : وَقَالَ الْبَيْعَ .م.ص اللهِ رَسُوْلُ فَاَبْطَلَ
(الرّزاق عبد رواه)
Artinya:
“Seseorang laki-laki membeli seekor unta dari laki-laki lainnya, dan ia mensyaratkan khiyar selama empat hari. Rasulullah SAW membatalkan jual-beli tersebut dan bersabda, “Khiyar adalah tiga hari”. (HR. Adurrazaq)
Ulama Hanafiyah dan Ja’far berpendapat bahwa waktu tiga hari adalah waktu cukup dan memenuhi kebutuhan seseorang. Dengan demikian, jika melewati tiga hari, jual-beli tersebut batal. Akan tetapi, akad tersebut dapat menjadi sahih, jika diulangi dan tidak melewati tiga hari. Adapun menurut Ja’far, jika diulangi dan tidak melewati tiga hari, tidak dapat menjadi akad yang sahih.
Imam Syafi’ipun berpendapat bahwa khiyar diperbolehkan menurut kesepakatan orang yang akad, baik sebentar maupun lama. Hal itu didasarkan antara lain pada pernyataan Ibn Umar yang membolehkan khiyar lebih dari sebulan. Selain itu, khiyar syarat sangat berkaitan dengan orang yang memberikan syarat. Oleh karena itu, diserahkan kepada orang yang melakukan akad.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa khiyar syarat dibolehkan sesuai dengan kebutuhan. Buah-buahan yang akan rusak sebelum tiga hari, dibolehkan khiyar kurang dari tiga hari. Golongan ini beralasan bahwa hakikatnya khiyar ditujukan untuk menguji barang yang dijual sehingga berbeda-beda bagi tiap-tiap barang. Memang benar, ada hadist yang membatasinya, tetapi hal itu hanya sebagai peringatan saja, yakni termasuk kepada khas, tetapi yang dimaksud umum الْعَامُ اُرِيْدُبِهِ الْخَاصِ بَابِ مِنْ[5]Adapun menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah, hal ini termasuk bab khusus dan dimaksudkan khusus الْخَاصُ بِهِ اُرِيْدُ الْخَاصِ بَابِ مِنْ.
v   Cara menggunakan khiyar
Dimaklumi bahwa akad atau jual-beli yang di dalamnya terdapat khiyar adalah akad yang tidak lazim. Dengan demikian, akad tersebut akan menjadi lazim jika khiyar tersebut gugur.
Cara menggugurkan khiyar tersebut ada tiga:
1)             Pengguguran jelas (sharih)
Pengguguran sharih adalah pengguguran oleh orang yang berkhiyar, seperti menyatakan, “Saya batalkan khiyar dan saya rida”. Dengan demikian, akad menjadi lazim (sahih). Sebaliknya, akad gugur dengan pernyataan, “Saya batalkan atau saya gugurkan akad ini”.

2)             Pengguguran dengan dilalah
Pengguguran dengan dilalah adalah adanya tasharruf (beraktivitas dengan barang tersebut) dari pelaku khiyar yang menunjukkan bahwa jual-beli tersebut jadi dilakukan, seperti pembeli menghibahkan barang tersebut kepada orang lain atau sebaliknya, pembeli mengembalikan kepemilikan kepada penjual. Pembeli menyerahkan kembali barang kepada penjual menunjukkan bahwa ia membatalkan jual-beli atauakad.
3)             Pengguguran khiyar dengan kemadaratan
Pengguguran khiyar dengan adanya kemadaratan terdapat dalam beberapa keadaan, antara lain berikut ini:
(a).  Habis waktu
Khiyar menjadi gugur setelah habis waktu yang telah ditetapkan walaupun tidak ada pembatalan dari yang khiyar. Dengan demikian, akad menjadi lazim. Hal itu sesuai dengan pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.
Menurut ulama Malikiyah, akad ini tidak lazim dengan berakhirnya waktu, tetapi harus ada penetapan atau pembatalan dari yang berkhiyar sebab khiyar merupakan hak bukan kewajiban. Oleh karena itu, akad tidak gugur dengan berakhirnya waktu. Contohnya, janji seorang tuan terhadap budak (al-mukatab) untuk dimerdekakan pada waktu tertentu. Budak tersebut tidak menjadi merdeka karena habisnya waktu.


(b).Kematian orang yang memberikan syarat
Jika orang yang memberikan syarat meninggal dunia, khiyar menjadi gugur, baik yang meninggal itu sebagai pembeli maupun penjual, lalu akadpun menjadi lazim, sebab tidak mungkin membatalkannya. Namun demikian, tentang kewarisan khiyar syarat, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat, antara lain:
Ø   Menurut ulama Hanafiyah, khiyar syarat tidak dapat diwariskan, tetapi gugur dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat.
Ø   Ulama Hanabiyah berpendapat bahwa khiyar menjadi batal dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat, kecuali jika ia mengamanatkan untuk membatalkannya, dalam hal ini, khiyar menjadi hak ahli waris.
Ø   Ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa khiyar menjadi haknya ahli waris. Dengan demikian, tidak akan gugur dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat.
(c). Adanya hal-hal yang semakna dengan mati
Khiyar gugur dengan adanya perkara-perkara yang semakna dengan mati, seperti gila, mabuk, dan lain lain. Dengan demikian, jika akal seseorang hilang karena gila, mabuk, tidur, atau hal lainnya, akad menjadi lazim.


(d). Barang rusak ketika masih khiyar
Tentang rusaknya barang dalam tentang waktu khiyar terdapat beberapa masalah, apakah rusaknya setelah diserahkan kepada pembeli atau masih dipegang oleh penjual, dan lain-lain. Sebagaimana akan dijelaskan dibwah ini:
Ø   Jika barang masih ditangan penjual, batalah jual-beli dan khiyar pun gugur.
Ø   Jika barang sudah ada ditangan pembeli, jual-beli batal jika khiyar berasal dari penjual, tetapi pembeli harus menggantinya
Ø   Jika barang sudah ada ditangan pembeli dan khiyar berasal dari pembeli, jual-beli menjadi lazim dan khiyar pun gugur.
Ø   Ulama Syafi’iyah seperti halnya ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika barang rusak dengan sendirinya, khiyar gugur dan jual belipun batal.
(e). Adanya cacat pada barang
Dalam masalah ini ada beberapa penjelasan mengenai khiyar:
Ø   Jika khiyar berasal dari penjual, dan cacat terjadi dengan sendirinya, khiyar gugur dan jual-belipun batal. Akan tetapi, jika cacat karena perbuatan pembeli atau orang lain, khiyar tidak gugur, tetapi  pembeli berhak khiyar dan bertanggung jawab atas kerusakannya. Begitu pula jika orang lain yang merusaknya, ia bertanggung jawab atas kerusakannya.
Ø   Jika khiyar berasal dari pembeli dan ada cacat, khiyar gugur, tetapi jual-beli tidak gugur, sebab barang berada pada tanggung jawab pembeli.
(f). Hukum akad pada masa khiyar
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tidak terjadi akad pada jual-beli yang mengandung khiyar, tetapi ditunggu sampai gugurnya khiyar.
Adapun menurut ulama Malikiyah dalam riwayat Ahmad, barang yang ada pada masa khiyar masih milik penjual, sampai gugurnya khiyar, sedangkan pembeli belum memiliki hak sempurna terhadap barang.
Ulama Syafi’iyah berpendapat, jika khiyar syarat berasal dari pembeli, barang menjadimilik pembeli. Sebaliknya, jika khiyar berasal dari penjual, barang menjadi hak penjual. Jika khiyar syarat berasal dari penjual dan pembeli, ditunggu sampai jelas (gugurnya khiyar).
Adapun menurut ulama Hanabiyah, dari siapapun khiyar berasal, barang tersebut menjadi milik pembeli. Jual-beli dengan khiyar, sama seperti jual-beli lainnya, yakni menjadikan pembeli sebagai pemilik barang yang tadinya milik penjual. Mereka mendasarkan pada hadist Nabi SAW dari Ibn Umar :
   الْمُبْتَاعُ يَشْتَرِطَ اِلاَّاَنْ لِلْبَائِعِ فَمَالُهُ مَالٌ وَلَهُ عَبْدًا بَاعَ مَنْ
Artinya:
“barang siapa yang menjual hamba yang memiliki harta, maka harta tersebut milik penjual, kecuali jika pembeli memberikan syarat”.
Pada hadist diatas Rasulullah SAW menetapkan bahwa harta mejadi milik pembeli dengan adanya syarat.
(g). Cara membatalkan atau menjadikan akad
Adanya penetapan atau pembatalan dengan maksud, ulama Hanafiyah sepakat bahwa pembuat khiyar memiliki hak penuh walaupun tanpa sepengetahuan pemilik barang. Namun demikian, harus diucapkan, seperti dengan perkataan, “Saya jadikan akad atau saya ridho”. Tidak cukup dengan hati sebab hukum Islam mencakup ucapan dan perbuatan merupakan ungkapan yang ada dalam hati.
c)             Khiyar Majlis
1)            Arti Khiyar Majlis
Khiyar Majlis menurut ulama fiqih adalah:[6]
 يَتَفَرَّ لَمْ الْعَقْدِ مَجْلِسِ فِى مَادَامَ الْعَقْدِ فَسْخُ حَقٌّ الْعَاقِدَيْنِ مِنَ لِكُلٍّ يَكُوْنَ اَنْ
.الْعَقْدِ لُزُوْمُ فَيُخْتَارُ الاٰخَرَ هُمَا اَحَدُ يُخَيِّرُ نِهَا بِاَبْدَا قَا
Artinya:
“Hak bagi semua yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada di tempat akad dan kedua pihak sebelum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad”.
Khiyar majlis dikenal di kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Dengan demikian, akad akan menjadi lazim, jika kedua pihak telah berpisah atau memilih. Hanya saja, khiyar majlis tidak dapat berada pada setiap akad. Khiyar majlis hanya ada pada akad yang sifatnya pertukaran, seprti jual-beli, upah-mengupah, dan lain-lain.
2)            Pandangan para ulama tentang khiyar majlis
Berkaitan dengan khiyar majlis, pendapat para ulama terbagi dua bagian:
v   Ulama Hanafiyah dan Malikiyah
Golongan ini berpendapat bahwa akad dapat menjadi lazim dengan adanya ijab dan qabul, serta tidak bisa hanya dengan khiyar, sebab Allah SWT menyuruh untuk menepati janji, sebagaimana firman-Nya  بِالْعُقُوْدِ اَوْفُوْا (kamu semua harus menepati janji), sedangkan khiyar menghilangkan keharusan tersebut.
Selain itu, suatu akad tidak akan sempura, kecuali dengan adanya keridaan, sebagaimana firman-Nya:
(٢٩: النساء) مِنْكُمْ تَرَاضٍ عَنْ تِجَارَةً تَكُوْنَ اَنْ اِلاَّ
Artinya
“Kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”.
Sedangkan keridhaan hanya dapat diketahui dengan ijab dan qabul. Dengan demikian, keberadaan akad tidak dapat digantungkan atas khiyar majlis.Golongan ini tidak mengambil hadist-hadist yang berkenaan dengan keberadaan khiyar majlis sebab mereka tidak mengakuinya. Selain itu, adanya anggapan tentang keumuman ayat diatas. Bahkan ulama Hanafiyah menakwil hadist tentang khiyar majlis, yaitu:
.اِخْتَرْ : لِلْاَخَرِ هُمَا اَحَدُ اَوْيَقُوْلُ يَتَفَرَّقَا لَمْ مَا بِلْخِيَارِ اَلْبَيِّعَانِ
    (ومسلم البخارى رواه)


Artinya:
“Orang yang berjual-beli (penjual dan pembeli) berhak khiyar sebelum keduanya berpisah, atau salah satunya mengatakan kepada yang lain dengan berkata, pilihlah!”. (HR. Bukhari dan Muslim)[7]
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud dua orang yang akad pada jual-beli adalah orang yang melakukan tawar-menawar sebelum akad, untuk berakad atau tidak. Adapun maksud dari berpisah adalah berpisah dari segi ucapan dan bukan badan. Dengan kata lain, bagi yang menyatakan ijab, ia boleh menarik ucapannya sebelum dijawab qabul, sedangkan bagi yang lainnya (penerima) boleh memilih apakah ia akan menerimanya di tempat tersebut atau menolaknya.
Menurut Wahbah Al-Juhaili, takwil diatas tidak berfaedah sebab orang yang akad, bebas untuk memilih, menerima atau menolak. Dengan demikian, orang yang tidak menerima tidak dapat dikatakan berpisah. Hadist tentang khiyar majlispun dapat dikatakan menyalahi keridhaan sebab majlis justru untuk memperkuat adanya keridhaan.
v   Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa adanya khiyar majlis. Kedua golongan ini berpendapat bahwa jika pihak yang akad menyatakan ijab dan qabul, akd tersebut masih termasuk akad yang boleh atau tidak lazim selagi keduanya masih berada di tempat atau belum berpisah badannya. Keduanya masih memiliki kesempatan untuk membatalkan, menjadikan, atau saling berpikir. Adapun batasan dari kata berpisah diserahkan kepada adat atau kebiasaan manusia dalam bermuamalah, yakni dapat dengan berjalan, naik tangga atau turun tangga, dan lain-lain.Mereka berpendapat bahwa khiyar majlis disyariatkan dalam Islam, berdasarkan hadist sahih diatas.
d)            Khiyar ‘Aib (Cacat)
1)            Arti dan Landasan Khiyar ‘Aib
Arti khiyar ‘aib (cacat) menurut ulama fiqih adalah:[8]
  عَيْبٌ اِذَاوُجِدَ اِمْضَاءِهِ اَوْ الْعَقْدِ فَسْخِ فِى الْحَقُّ الْعَاقِدَيْنِ لِأَحَدِ يَكُوْنَ اَنْ
الْعَقْدِ وَقْتَ بِهِ عَالِمًا حِبُهُ صَا يَكُنْ وَلَمْ لَيْنِ الْبَدْ اَحَدِ فِى
Artinya:
“Keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar yang tidak diketahui pemilik waktu akad”.
Dengan demikian, penyebab, khiyar aib adalah adanya cacat dan barang yang dijual belikan (ma’qub alaih) atau harga (tsaman), karena kurang nilainya atau tidak sesuai dengan maksud atau orang yang akad tidak meneliti kecacatannya ketika akad.
Ketetapan adanya khiyar mensyaratkan adanya barang pengganti, baik diucapkan secara jelas ataupun tidak, kecuali jika ada keridhaan dari yang akad. Sebaliknya, jika tidak tampak adanya kecacatan, barang pengganti tidak diperlukan lagi.

Khiyar ‘aib disyariatkan dalam Islam yang didasarkan pada hadist-hadist yang cukup banyak, diantaranya :
     لَهُ بَيِّنَةٌ اِلاَّ عَيْبٌ وَفِيْهِ بَيْعًا اَخِيْهِ مِنْ بَاعَ لِمُسْلِمٍ يَحِلُّ لاَ الْمُسْلِمِ اَخُوْ اَلْمُسْلِمُ
(عَامر بن عقبة عن ماجه ابن رواه)
Artinya:
“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Tidaklah halal bagi seoramg muslim untuk menjual barang bagi saudara-saudaranya ynag mengandung kecacatan, kecuali jika menjelaskannya terlebih dahulu.” (HR. Ibn Majah dari Uqbah Ibn Amir)
: فَقَلَ مَبْلُوْلٌ هُوَ فَاِذَا فِيْهِ يَدَهُ فَاَدْخَلَ طَعَامًا يَبِيْعُ بِرَجُلٍ .م.ص النَّبِيُّ مَرَّ
.مِنَّا فَلَيْسَ غَشَّنَا مَنْ
Artinya:
“Suatu hari rasulullah SAW melewati seorang pedagang makanan, kemudian beliau mencelupkan tangannya ke atas makanan tersebut dan mengetahui makanan itu basah (basi). Bersabda, “Barang siapa yang menipu kitam ia bukan dari golongan kita”.
2)            ‘Aib Mengharuskan Khiyar
Ulama Hanfiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ‘aib pada khiyar adalah segala sesuatu yang menunjukkan adanya kekurangan dari aslinya, misalnya berkurang nilainya menurut adat, baik berkurang sedikit atau banyak.
Menurut ulama Syafi’iyah adalah segala sesuatu yang dapat dipandang berkurang nilainya dari barang yang dimaksud atau tidak adanya barang yang dimaksud, seperti sempitnya sepatu, potongnya tanduk binatang yang akan dijadikan korban.


3)            Syarat tetapnya Khiyar
Disyaratkan untuk tetapnya khiyar ‘aib setelah diadakan penelitian yang menunjukkan:
v   Adanya ‘aib setelah akad atau sebelum diserahkan, yakni aib tersebut telah lama ada. Jika adanya setelah penyerahan atau ketika berada di tangan pembeli, aib tersebut tidak tetap.
v   Pembeli tidak mengetahui adanya cacat ketika akad dan ketika menerima barang. Sebaliknya, jika pembeli sudah mengetahui adanya cacat ketika menerima barang tidak ada khiyar sebab ia dianggap telah ridha.
v   Pemilik barang tidak mensyaratkan agar pembeli bebaskan jika ada cacat. Dengan demikian, jika penjual mensyaratkannya tidak ada khiyar. Jika pembeli membebaskannya, gugurlah hak dirinya. Hal itu sesuai dengan pendapat ulama Hanafiyah.
Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan menurut salah satu riwayat dari Hanabilah berpendapat bahwa seorang penjual tidak sah minta dibebaskan kepada pembeli kalau ditemukan aib, apabila aib tersebut sudah diketahui oleh keduanya, kecuali jika ‘aib tidak diketahui oleh pembeli.
4)            Waktu Khiyar ‘aib
Khiyar ‘aib tetapada sejak munculnya cacat walaupun akad telah berlangsung cukup lama. Mengenai membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat, baik secara langsung maupun ditangguhkan, terdapat dua pendapat.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat adalah ditangguhkan, yakni tidak disyaratkan secara langsung. Dengan demikian, ketika diketahui adanya cacat, tetapi pengembalian diakhirkan, hal itu tidaklah membatalkan khiyar sehingga ada tanda-tanda yang menunjukkan keridhaan. Hal ini karena disyari’atkannya khiyar, antara lain untuk mencegah kemadharatan. Oleh karena itu, tidak batal dengan mengakhirkannya. Selain itu, suatu khiyar akan tetap ada dan tidak gugur, kecuali bila digugurkan atau habisnya waktu, padahal khiyar ini tidak dibatasi oleh waktu.
Adapun ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa pembatalan akad harus dilakukan sewaktu diketahuinya cacat, yakni secara langsung menurut adat, tidak boleh ditangguhkan. Namun demikian, tidak dianggap menangguhkan jika diselangi shalat, makan, minum. Di antara sebabnya, supaya orang yang akad tidak madarat karena mengakhirkan, yakni hilangnya hak khiyar karena mengakhirkan sehingga akad menjadi lazim.
5)            Cara Pengembalian Akad
Apabila barang masih berada di tangan pemilik pertama, yakni belum diserahkan kepada pembeli, akad dianggap telah dikembalikan (dibatalkan), dengan ucapan, “Saya kembalikan”. Dalam hal ini tidak memerlukan keputusan seorang hakim, tidak pula membutuhkan keridhaan. Hal itu disepakati oleh ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah.
Ulama Hanafiyah berpendapat, apabila barang sudah diserahkan kepada pembeli, harus ada kerelaan ketika menyerahkan atau diserahkan melalui keputusan hakim. Hal itu untuk mencegah adanya pertentangan sebab adanya kemungkinan cacat tersebut baru sehingga tidak wajib dikembalikan atau cacatnya sudah lama sehingga wajib dikembalikan.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad batal dengan ucapan pembeli, “Saya kembalikan”, tanpa membutuhkan keridhaan atau keputusan hakim, sebagaimana pembatalan pada khiyar syarat atau khiyar ru’yah, sebab khiyar ‘aib menjadikan jual-beli tidak lazim. Orang yang khiyar dibolehkan membatalkan akad tanpa seizin penjual atau keputusan hakim.
6)            Hukum Adat dalam Khiyar aib
Hak kepemilikan barang khiyar yang masih memungkinkan adanya ‘aib berada di tangan pada pembeli sebab jika tidak terdapat kecacatan, barang tersebut adalah milik pembeli secara lazim.
Dampak dari khiyar ‘aib adalah menjadikan akad tidak lazim bagi yang berhak khiyar, baik rela atas cacat tersebut sehingga batal khiyar dan akad menjadi lazim atau mengembalikan barang kepada pemiliknya sehingga akad batal.
7)            Perkara yang menghalangi untuk mengembalikan barang ma’qud ‘alaih (barang) yang cacat tidak boleh dikembalikan dan akad menjadi lazim dengan adanya sebab-sebab berikut:
v   Rida setelah mengetahui adanya cacat, baik secara jelas diucapkan atau adanya petunjuk, seperti menggunakan barangnya (ber-tasharruf) yang menunjukkan atas keridhaan barang yang cacat, seperti memakainya, menghadiahkannya dan lain-lain.
v   Menggugurkan khiyar, baik secara jelas, seperti berkata, “Saya gugurkan khiyar” atau adanya petunjuk, seperti membebaskan adanya cacat pada ma’qud ‘alaih (barang).
v   Barang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk aslinya.
v   Adanya tambahan pada barang yang bersatu dengan barang tersebut dan bukan berasal dari aslinya atau tambahan yang terpisah dari barang, tetapi berasal dari aslinya, seperti munculnya buah atau lahirnya anak.
8)            Mewariskan Khiyar ‘aib
Ulama fiqih sepakat bahwa khiyar ‘aib dan khiyar ta’yin diwariskan sebab berhubungan dengan barang. Dengan demikian, jika yang memiliki hak khiyar ‘aib itu meninggal, ahli memiliki hak untuk meneruskan khiyar sebab ahli waris memiliki hak menerima barang yang selamat dari cacat.
3.    Perbedaan Garansi dengan Khiyar
Dewasa ini sering terdengar istilah garansi. Adapun yang dimaksud dengan garansi ini dalam perjanjian jual beli adalah tanggungan atau jaminan dari seseorang penjual bahwa yang ia jual tersebut bebas dari kerusakan yang tidak diketahui sebelumnya (dalam hal ini terkecuali kerusakan atau cacat yang telah diketahui, diberitahu garansi atau jaminan ini punya jangka waktu tertentu, lazimnya 1 tahun, 2 tahun atau 3 tahun).
Contohnya A membeli sebuah pesawat televisi kepada toko B, lantas pihak toko pada waktu menyerahkan barang juga menyertakan kartu garansi, dalam kartu garansi lazimnya selalu dicantumkan ketentuan-ketentuan garansi yang diberikan termasuk juga jangka waktunya.           
Menurut pandangan ahli hukum Islam perjanjian seperti ini dapat diterima (tidak bertentangan) dengan ketentuan hukum Islam, Ibnu Al Qayyim mengemukakan: “Ini suatu kesepakatan dari mereka, bahwa jual beli sah dan boleh adanya syarat bebas cacat”.
Menurut penulis dasar hukum pembolehan garansi ini dalam perjanjian jual beli dapat disandarkan kepada hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya berbunyi sebagai berikut: “Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu”[9].



Di tengah-tengah masyarakat dewasa ini, persoalan garansi ini bukan lagi merupakan hal yang baru, bahkan masyarakat luas nampaknya sudah menerimanya sebagai suatu kebiasaan bahkan boleh dikatakan merupakan kelaziman, dan biasanya bila seseorang membeli sesuatu barang berharga, sebelum transaksi jual beli dilaksanakan terlebih dahulu dinyatakannya tentang garansinya.
Apabila ada suatu kelaziman telah diterima di tengah-tengah masyarakat, dan kelaziman itu tidak pula bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam (Hukum Islam), maka kelaziman tersebut adalah merupakan hukum, hal ini sejalan dengan kaidah hukum Islam yang dalam bahasa Indonesianya berbunyi sebagai berikut: “Ada kebiasan itu diakui sebagai landasan dasar hukum”. Atau dalam istilah lain bahwa kebiasaan itu merupakan sumber hukum.
Mengenai ketentuan-ketentuan garansi yang merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak dalam perjanjian garansi biasanya tercantum dalam surat garansi yang diberikan penjual kepada pembeli sebagai pemenuhan terhadap hak-hak pembeli. Dalam perjanjian garansi ini, kewajiban yang harus dilakukan penjual adalah menanggung cacat yang ada pada pihak penjual yang tidak diketahui oleh pembeli. Karena merupakan hak pembeli ketika melakukan transaksi. Adapun hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli dalam perjanjian garansi diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diantaranya[10]:
a.            Pembeli berhak untuk memilih barang, serta mendapatkan barang tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
b.           Pembeli berhak atas informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang.
c.            Pembeli berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
d.           Penjual wajib memberikan informasi yang benar, mengenai kondisi dan jaminan barang serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
e.            Penjual wajib menjamin mutu barang yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang yang berlaku.
f.            Penjual berkewajiban untuk memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang tertentu serta memberi jaminan garansi atas barang yang diperdagangkan.
g.           Penjual wajib memberikan kompensasi, ganti rugi dan penggantian apabila barang yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Oleh karenanya dalam suatu perjanjian garansi apabila salah satunya melanggar perjanjian yang telah disepakati oleh keduanya maka akan diminta pertanggungjawaban.
v   Konsep Dasar Garansi
Jenis garansi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu garansi satu dimensi, garansi dua dimensi, dan garansi tambahan (extended warranty).
1.         Garansi Satu Dimensi
Kebijakan garansi satu dimensi dikarakteristikkan oleh satu atribut, yaitu umur produk atau pemakaian. Sebagai contoh, sebuah TV digaransi selama satu tahun.  Jenis garansi ini dibagi ke dalam dua kategori utama yaitu Free Replacement Warranty (FRW) dan Pro Rata Warranty (PRW).


Pada  FRW. perbaikan produk yang mengalami kerusakan selama masa garansi tanpa dikenakan biaya kepada konsumen. Sedangkan, pada PRW. produk baru sebagai pengganti dari produk yang rusak  dalam masa garansi diberikan dengan harga diskon. Atau konsumen harus mengeluarkan sejumlah uang (yang besarnya proporsional terhadap sisa masa garansi pada saat produk rusak) untuk mendapatkan produk baru. FRW. cocok diterapkan untuk produk yang dapat direparasi, misalnya komputer, sedangkan PRW tepat untuk produk yang tidak dapat direparasi, misalnya ban mobil.

2.        Garansi Dua Dimensi

Kebijakan garansi dua dimensi dikarakteristikkan oleh dua atribut (dimensi), di mana satu dimensi menjelaskan batas umur dan dimensi yang lainnya penggunaan. Garansi dua dimensi banyak ditawarkan untuk produk otomotif, pesawat terbang, dan lain-lain. Sebagai contoh, sebuah mobil atau sepeda motor diberi garansi satu tahun atau 12.000 km, tergantung yang mana yang berakhir lebih dahulu. 
3.         Garansi Tambahan (Extended Warranty)
Beberapa tahun terakhir ini, produsen menawarkan garansi tambahan (extended warranty). Sebagai contoh, banyak dealer yang menawarkan penjualan  mobil dengan garansi tambahan setelah masa garansi dasar (base warranty) berakhir, misalnya perpanjangan waktu garansi satu tahun. Hal serupa untuk produk elektronik, di mana pembeli dapat mengajukan garansi tambahan, misalnya satu sampai dua tahun. Garansi dapat diperpanjang dengan melakukan kontrak kesepakatan baru tetapi konsumen harus mengeluarkan sejumlah uang atau membeli jasa ini. Garansi tambahan ini merupakan pilihan bagi konsumen untuk memperpanjang atau tidak, atau sifatnya tidak diwajibkan.  Garansi tambahan dapat ditawarkan oleh produsen maupun pihak ketiga. Garansi tambahan mirip dengan service contract di mana ada pihak luar (produsen atau pihak ketiga) yang sanggup merawat produk untuk periode tertentu berdasarkan kontrak dengan pemilik produk.
Bagi produsen, garansi tambahan memberikan layanan purna jual kepada konsumen yang tidak terbatas pada masa garansi tetapi juga di luar garansi. Layanan purna jual yang baik akan menciptakan kepuasan pelanggan (customer satisfication) yang tinggi, sehingga akan menambah loyalitas konsumen terhadap produk. Dan ini dapat digunakan sebagai alat promosi yang efektif untuk memenangkan persaingan dengan produk yang sejenis.Penawaran ongkos yang relatif murah dan garansi tambahan yang menguntungkan konsumen membuat jasa garansi tambahan menjadi suatu produk yang menarik bagi konsumen. Dan ini membuka peluang bisnis untuk memberikan jasa garansi tambahan oleh pihak ketiga.
Dari konsep garansi di atas kita dapat mengetahui perbedaan yang signifikan antara khiyar dengan garansi. Garansi adalah proses dan prosedur penggantian barang yang dimaksudkan sebagai bentuk pertanggung jawaban atas mutu dan kualitas dari barang yang dibeli. Waktu atau masa berlaku dan batasan-batasan atau klausul dari garansi diatur oleh mekanisme prosedural yang mengikat dan berketetapan, dimana prosedur tersebut harus dijalankan dengan pertimbangan kebijakan dari pihak-pihak yang berkaitan. Garansi dan khiyar sangat berbeda tetapi memiliki sedikit persamaan yaitu sama-sama merupakan jaminan mutu, sama-sama memberikan tenggang waktu ketika melakukan jual beli.



B.  Iqalah
1.             Pengertian Iqalah
Suatu akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya akan mengikat kedua belah pihak yang berakad. Oleh karena itu dengan mengikatnya akad tersebut, maka tidak seorangpun dari kedua belah pihak yang berakad bisa memutuskan akad secara sepihak kecuali ada hal-hal yang dapat membenarkannya.
Diantaranya adalah melalui kesepakatan antara kedua belah pihak untuk membatalkan atau memutuskan akad. Iqalah menurut bahasa adalah membebaskan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan para pihak berdasarkan kesepakatan bersama untuk mengakhiri suatu akad yang telah mereka buat dan menghapus akibat hukum yang timbul sehingga status para pihak kembali seperti sebelum terjadinya akad yang diputuskan tersebut. Atau dengan kata lain, iqalah adalah kesepakatan bersama antara dua belah pihak yang berakad untuk memutuskan akad yang telah mengikat dan menghapus segala akibat hukum yang ditimbulkan dari suatu akad tertentu.
Dasar syariah dari iqalah adalah hadits riwayat Ibn Hibban dari Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda: “Barang siapa menyetujui permintaan pemutusan transaksi dari seorang yang menyesal, Allah akan membebaskannya dari kesalahannya di hari kiamat”.Dari hadits ini bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam suatu transaksi terkadang salah satu pihak merasa menyesal atas transaksi tersebut dan menginginkan untuk membatalkannya. Contoh iqalah adalah seperti seseorang menjual 100 liter beras dengan harga Rp 100.000. Beras itu telah diserahkannya kepada pembeli, tetapi harganya belum dibayar.  Beberapa hari kemudian, penjual berkata kepada pembeli, "Bayarlah harganya atau kembalikan beras itu kepada saya.” Dalam hal ini, pembeli mungkin bersedia membayar harga beras itu, baik seluruhnya atau sebagiannya. Dan mungkin pula mengembalikan beras yang telah dibelinya itu. Perbuatan mengembalikan beras itu, baik seluruhnya atau sebagiannya kepada penjual disebut iqalah.
Pada dasarnya ulama empat madzhab sepakat atas diperbolehkannya iqalah, hanya saja terdapat perbedaan pendapat diantara mereka tentang hakikat iqalah. Ulama empat madzhab dalam masalah ini terbagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1.             Madzhab Syafi`I, Hambali, serta Zufar dan al-Hasan (keduanya adalah ulama bermadzhab Hanafi) berpendapat bahwa iqalah adalah pemutusan akad, baik yang dalam kaitannya dengan dua belah pihak yang berakad maupun yang berkaitan dengan pihak ketiga. Status keduanya kembali seperti sediakala sebelum adanya akad, dan tidak boleh ada perubahan harga.
2.             Madzhab Maliki, Abu Yusuf dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa iqalah adalah akad baru baik bagi para pihak yang berakad maupun bagi pihak ketiga kecuali dalam hal iqalah memang tidak bisa dianggap sebagai akad baru, namun dalam kasus demikian iqalah dianggap sebagai pemutusan akad.
3.             Imam Hanafi berpendapat bahwa iqalah adalah sebagai pemutusan akad dalam kaitannya dengan pihak yang berakad. Sedangkan dalam kaitannya dengan pihak yang ketiga, maka iqalah adalah suatu akad baru. Dengan demikian maka status antara dua pihak yang bertransaksi kembali seperti ketika belum diadakannya transaksi. Adapun untuk melindungi hak-hak dari pihak ketiga, maka iqalah dianggap sebagai akad baru di mata pihak ketiga.






2.             Syarat Iqalah
Agar pemutusan akad melalui iqalah ini dianggap sah, maka harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
a.             Akad yang diputuskan melalui iqalah harus termasuk jenis akad yang bisa difasakh.
b.              Adanya persetujuan kedua belah pihak yang berakad atas pemutusan ini.
c.             Obyek akad masih ada.
d.             Tidak boleh ada penambahan harga, hanya saja biaya pembatalan dikenakan kepada pihak yang meminta pemutusan akad.
C.  Hukum Tas’ir
1.             Pengertian Tas’ir
Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran yang artinya menyalakan. Secara etimologi kata at-tas’ir (ﺍﻠﺗﺳﻌﻴﺭ) seakar dengan kata as-si’r (ﺍﻠﺳﻌﺭ = harga) yang berarti penetapan harga. Kata as-si'r ini digunakan di pasar untuk menyebut harga (di pasar) sebagai penyerupaan terhadap aktivitas penyalaan api, seakan menyalakan nilai (harga) bagi sesuatu.
Dikatakan,  Sa arat asy-syay a tas îran, artinya menetapkan harga sesuatu yang merupakan titik berhenti tawar-menawar.dikatakan,  As arû wa sa arû, artinya mereka telah bersepakat atas suatu harga tertentu. Oleh karena itu, tasîr secara bahasa berarti taqdîr as-siri (penetapan/penentuan harga).
2.             Dasar Hukum at-Tas’ir
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ketentuan penetapan harga ini tidak dijumpai dalam al-Qur’an. Adapun dalam hadits Rasulullah Saw. dijumpai beberapa hadits, yang dari logika hadits itu dapat diinduksi bahwa penetapan harga itu dibolehkan. Faktor dominan yang menjadi landasan hukum at-tas’ir, menurut kesepakatan ulama fiqh adalah al-maslahah al-mursalah.
Hadits Rasulullah saw yang berkaitan dengan penetapan harga adalah sebuah riwayat dari Anas Ibn Malik. Dalam riwayat itu dikatakan:“Pada zaman Rasulullah saw, terjadi pelonjakan harga dipasar, lalu sekelompok orang menghadap kepada Rasulullah saw .seraya berkata: ya Rasulullah, harga-harga dipasar kian melonjak begitu tinggi, tolonglah tetapkan harga itu. Rasulullah saw, menjawab: sesungguhnya Allahlah yang (berhak) menetapkan harga dan menahannya, melapangkan dan memberi rezeki. Saya berharap akan bertemu dengan Allah dan jangan seseorang diantara kalian menuntut saya untuk berlaku zalim dalam soal harta dan nyawa.
Dalil lainnya, hadits Nabi Saw. yang artinya:
“Janganlah orang kota menjual kepada orang dusun, biarkanlah manusia, Allah akan memberi rizki kepada mereka sebagian dari sebagian lainnya.”
Dari hadits ini Rasulullah saw melarang orang kota yang tahu harga menjual barang dagangan kepada orang dusun yang tidak tahu harga. Karena hal ini akan dapat melonjakkan harga. Maka tas’ir dibolehkan agar tidak terjadi pelonjakan harga.
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, tas’ir yang dibolehkan itu contohnya : penguasa melarang para pedagang untuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar, sementara saat itu masyarakat sangat membutuhkan barang itu. Maka dalam kondisi seperti ini penguasa mewajibkan pedagang menjual dengan harga pasar, karena ini berarti mengharuskan keadilan. Padahal keadilan adalah hal yang diperintahkan Allah.
Para ulama fiqh menyatakan bahwa kenaikan harga yang terjadi di zaman Rasulullah Saw. itu bukanlah oleh tindakan sewenang-wenang dari para pedagang, tetapi karena memang komoditi yang ada terbatas. Sesuai dengan hukum ekonomi apabila stok terbatas, maka lumrah harga barang itu naik. Oleh sebab itu  dalam keadaan demikian Rasulullah Saw. tidak mau campur tangan membatasi harga komoditi di pasar itu, karena tindakan seperti ini bersifat zalim terhadap para pedagang. Padahal, Rasulullah Saw. tidak akan mau dan tak akan pernah berbuat zalim kepada sesama manusia, tidak terkecuali kepada pedagang dan pembeli. Dengan demikian, menurut para pakar fiqh, apabila kenaikan harga itu bukan karena ulah para pedagang, maka pihak pemerintah tidak boleh ikut campur dalam masalah harga, karena perbuatan itu menzalimi para pedagang.
3.             Macam-Macam Tas’ir
Para ulama fiqh membagi tas’ir kepada dua macam, yaitu :Pertama, harga yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan dan ulah para pedagang. Dalam harga seperti ini, para pedagang bebas menjual barangnya sesuai dengan harga yang wajar, dengan mempertimbangkan keuntungannya. Pemerintah dalam harga yang berlaku secara alami ini tidak boleh campur tangan karena campur tangan pemerintah dalam kasus seperti ini boleh membatasi hak para pedagang.
Kedua, harga suatu komoditi yang ditetapkan pemerintah setelah mempertimbangkan modal  dan keuntungan bagi para pedagang dan keadaan ekonomi masyarakat. Penetapan harga dari pemerintah ini disebut dengan at-tas’ir al-jabari.
Menurut Abd. Karim Ustman, pakar fiqh dari Mesir, dalam perilaku ekonomi, harga suatu komoditi akan stabil apabila stok barang tersedia banyak di pasar, karena antara penyediaan barang dan dengan permintaan konsumen terdapat keseimbangan. Akan tetapi, apabila barang yang tersedia sedikit, sedangkan permintaan konsumen banyak, maka dalam hal ini akan terjadi fluktuasi harga. Dalam keadaan yang disebutkan terakhir ini, menurutnya, pihak pemerintah tidak boleh ikut campur dalam masalah harga itu. Cara yang boleh menstabilkan harga itu adalah pemerintah berupaya menyediakan komoditi dimaksud dan menyesuaikannya dengan permintaan pasar. Sebaliknya, apabila stok barang cukup banyak di pasar, tetapi harga melonjak naik, maka pihak pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat. Apabila kenaikan harga ini disebabkan ulah para pedagang, misalnya dengan melakukan penimbunan dengan tujuan menjualnya setelah melonjaknya harga (ihtikar), maka kasus seperti ini pemerintah berhak untuk menetapkan harga. Penetapan harga dalam fiqh disebut dengan at-tas’ir al-jabari.

























BAB III
KESIMPULAN

v Pengertian khiyar menurut ulama fiqih adalah:[11]
رُ رُخِيَا الْخِيَا كَانَ اِنْ فَسْخِهِ اَوْ الْعَقْدِ اِمْضَاءِ فِى الْحَقُّ قِدِ لِلْمُتَعَا يَكُوْنَ أَنْ
تَعِيْينٍ رُخِيَارُ الْخِيَا كَانَ اِنْ الْبَيْعَيْنِ اَحَدُ يَخْتَارَ اَنْ اَوْ عَيْبٍ اَوْ اَوْرُوْسَةٍ شَرْطٍ
Artinya:
“suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikannya atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib atau ru’yah, atau hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar ta’yin.”
v  Dari konsep garansi pada bab pebahasan  kita dapat mengetahui perbedaan yang signifikan antara khiyar dengan garansi. Garansi adalah proses dan prosedur penggantian barang yang dimaksudkan sebagai bentuk pertanggung jawaban atas mutu dan kualitas dari barang yang dibeli. Waktu atau masa berlaku dan batasan-batasan atau klausul dari garansi diatur oleh mekanisme prosedural yang mengikat dan berketetapan, dimana prosedur tersebut harus dijalankan dengan pertimbangan kebijakan dari pihak-pihak yang berkaitan. Garansi dan khiyar sangat berbeda tetapi memiliki sedikit persamaan yaitu sama-sama merupakan jaminan mutu, sama-sama memberikan tenggang waktu ketika melakukan jual beli.
v  Iqalah menurut bahasa adalah membebaskan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan para pihak berdasarkan kesepakatan bersama untuk mengakhiri suatu akad yang telah mereka buat dan menghapus akibat hukum yang timbul sehingga status para pihak kembali seperti sebelum terjadinya akad yang diputuskan tersebut.
v  Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran yang artinya menyalakan. Secara etimologi kata at-tas’ir (ﺍﻠﺗﺳﻌﻴﺭ) seakar dengan kata as-si’r (ﺍﻠﺳﻌﺭ = harga) yang berarti penetapan harga. Kata as-si'r ini digunakan di pasar untuk menyebut harga (di pasar) sebagai penyerupaan terhadap aktivitas penyalaan api, seakan menyalakan nilai (harga) bagi sesuatu. Dikatakan,  Sa arat asy-syay a tas îran, artinya menetapkan harga sesuatu yang merupakan titik berhenti tawar-menawar. dikatakan,  As arû wa sa arû, artinya mereka telah bersepakat atas suatu harga tertentu. Oleh karena itu, tasîr secara bahasa berarti taqdîr as-siri (penetapan/penentuan harga). Penetapan harga ini diperbolehkan selama bertujuan untuk kemaslahatan umat atau untuk menegakan keadilan antara penjual dan pembeli.























Daftar Pustaka

Al Lu’ul wal marja. (2014). Shahih Bukhari Muslim. Bandung: Jabal.
Nuri, Aslami. Tas’ir.htm. diakses pada 06 Oktober 2015.
Hakim, Lukman. (2012). Prinsip-prinsip Ekonomi Islam. Bandung: Erlangga.
Rasjid, Sulaiman. (2012). Fiqih Islam. Bandung: IKAPI.
Supradi dan Chairuman, Pasaribu. (2004). Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Syafe’i, Rachmat. (2001). Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.


[1]Rachmat syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm. 103.
[2]Ibid., hal. 104.
[3]Rahmat syafe’i, loc.cit.
[4]Hendi suhendi. Fiqh Muamalah. Hlm. 83.
[5]Rachmat syafe’i. Op.cit.,  hlm. 107.
[6]Ibid., hlm. 112.
[7]Al Lu’lu Wal Marja. 2014. Shahih Bukhari Muslim. Bandung: Jabal.
[8]Ibid., hlm. 115.
[9]Drs. H. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, S.H, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 44.
[10]Ummy Salamah, Tinjauan Hukum Islam Terjadap Garansi dalam Jual Beli, Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 2002, hal.45.
[11]Rachmat syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm. 103.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Etika Islami dalam Praktik Akuntansi

ETIKA ISLAMI DALAM PRAKTIK AKUNTANSI MAKALAH disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Auditing Syariah Dosen : Tito Marta Sugema Dasuki, S.E., M. AK.   Disusun :                         v Retty Sugiarti : 1143070184 v Reza Ramdhan : 1143070188 v Rissa Dwi Putri Rahayu : 1143070202 v Siti Hodijah : 1143070219 UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2017 M/1437 H KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim Puji syukur selayaknya kita panjatkan kepada Dzat Ilahi Allah SWT. penerjemah segala tanya, penerang dalam segala sudut kegelapan, pemilik kebenaran yang hakiki, penebar berbagai nikmat, terutama nikmat Iman dan Islam. Pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ Etika Islami dalam Praktik Akunta...