KHIYAR, IQALAH, DAN HUKUM TAS’IR
DALAM JUAL BELI
MAKALAH
disusun
untuk memenuhi mata kuliah Fiqh
Muamalah
Dosen: Evi Soviah, M.Ag.
Oleh:
![]() |
: 1143070180
|
![]() |
: 1143070183
|
![]() |
: 1143070184
|
![]() |
: 1143070190
|
![]() |
: 1143070199
|
![]() |
: 1143070209
|
![]() |
: 1143070212
|
![]() |
: 1143070216
|
![]() |
: 1143070220
|
MANAJEMEN
KEUANGAN SYARI’AH
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2015-2016
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2015-2016
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan
kepada Allah SWT.yang telah memberikan rahmat, hidayah serta inayah-Nya sehingga dapat terselesaikannya
penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada
jungjungan kita Nabi Muhammad SAW.kepadakeluarganya, para
sahabatnya, dan sampai kepada kita selaku umatnya. Makalah ini
berjudul “ Khiyar, Iqalah, dan Hukum Tas’ir dalam Jual beli”.
Makalah ini mengupas berbagai hal
yang berhubungan dengan khiyar, iqalah, dan hukum tas’ir dalam jual beli.
Sebagai tambahan kazanah yang tidak kalah penting disinggung pula sedikit
perbedaan antara khiyar dengan garansi.Penulis mengucapkan terimakasih kepada
Ibu Evi Sopiah, M.Ag. selaku dosen mata kuliah Fiqh Muamalah yang telah
memberikan ilmunya dalam mata kuliah ini.
Penulis menyadari bahwa tidak ada
gading yang tidak retak, begitu juga dengan makalah yang disajikan masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca
diharapkan dapat menunjang pembuatanmakalah selanjutnya.Akhir kata penulis mengucapkan semoga bermanfaat
untukpara pembaca.
Bandung, 27 Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Sampul.............................................................................
i
Kata Pengantar..............................................................................
ii
Daftar Isi......................................................................................... iii
Bab I Pendahuluan..........................................................................
A. Latar Belakang ................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 3
C. Tujuan .............................................................................. 3
Bab II Pembahasan.........................................................................
A. Khiyar .............................................................................. 4
1. Arti dan Jumlah Khiyar.............................................. 4
2. Khiyar paling masyhur............................................... 5
a.
Khiyar Syarat..................................................... 5
b.
Khiyar Masyru’ dan Khiyar Rusak.................... 6
c.
Khiyar Majlis..................................................... 13
d.
Khiyar ‘Aib....................................................... 16
3.
Perbedaan Garansi dengan Khiyar........................... 21
B. Iqalah............................................................................... 26
1. Pengertian Iqalah....................................................... 26
2. Syarat Iqalah............................................................. 28
C. Hukum Tas’ir................................................................... 28
1. Pengertian Tas’ir........................................................ 28
2. Dasar Hukum at-Tas’ir.............................................. 28
3. Macam-macam Tas’ir................................................ 30
Bab III
Kesimpulan....................................................................... 32
Daftar Pustaka............................................................................... 34
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam merupakan suatu sistem dan pedoman hidup (way of life). Sebagai suatu pedoman
hidup, ajaran islam terdiri dari aturan-aturan yang mencakup seluruh aspek
kehidupan. Islam ini mencakup tiga bagian utama sebuah bangunan yakni aqidah,
akhlak, dan syariah. Sebagaimana yang kita ketahui aqidah dan ahklak bersifat permanen
dan kekal dalam Al-quran sehingga tidak ada modifikasi sedangkan syariah selalu
berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
Sesuai dengan skema
zarqa, syariah terdiri atas bidang muamalah dan bidang ibadah. Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai bidang muamalahnya. Sesungguhnya agama Islam
adalah agama yang penuh kemudahan dan selalu memperhatikan berbagai maslahat
dan keadaan, mengangkat dan menghilangkan segala beban umat. Termasuk dalam
maslahat tersebut adalah sesuatu yang Allah syariatkan dalam jual beli berupa
hak memilih bagi orang yang bertransaksi, supaya dia puas dalam urusannya dan
dia bisa melihat maslahat dan madharat yang ada dari sebab akad tersebut
sehingga dia bisa mendapatkan yang diharapkan dari pilihannya atau membatalkan
jual belinya apabila dia melihat tidak ada maslahat padanya.Hal ini sesuai
dengan sabda Rasulullah Saw. sebagai berikut:
الْبَيِّعَانِ قَالَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللهُ صَلَّى اللهِ رَسُولَ أَنَّ : عَنْهُمَا
اللهُ
رَضِيَ
عُمَرَ
ابْنِ
حَدِيثُ
الْخِيَارِ بَيْعَ إِلاَ يَتَفَرَّقَا لَمْ مَا صَاحِبِهِ عَلَى بِلْخِيَارِ مِنْهُمَا وَاحِدٍ كُلُّ
Diriwayatkan dari Ibnu Umar
katanya: sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda: “Penjual dan pembeli,
masing-masing mempunyai hak khiyar yaitu kesempatan berpikir selagi mereka
belum berpisah melainkan jual beli khiyar”.
Selain khiyar, dalam jual beli juga sering disisipkan yang namanya garansi.
Garansi telah dikenal oleh berbagai kalangan masyarakat. Garansi merupakanjaminan
atau tanggungan. Ia termasuk salah satu bentuk layanan purna yang diberikan
oleh penjual kepada pembeli, dalam bentuk perjanjian tertulis.
Garansi dalam Islam
memang diperbolehkan dilihat dari segi
kemanfaatannya kepada masyarakat luas tentunya sangat besar sekali, sebab
dengan adanya perjanjian garansi dalam jual beli ini sekaligus sebagai
perlindungan terhadap konsumen yang notabene tingkat ekonominya berada di bawah
pihak penjual. Garansi dengan
khiyar memang sangat berbeda tetapi mempunyai kesamaan yaitu sedikit persamaan
yaitu sama-sama merupakan jaminan mutu, sama-sama memberikan tenggang waktu
ketika melakukan jual beli.
Bahkan
tidak hanya itu saja, tetapi pembahasan tentang jual beli mendapatkan porsi paling besar diantara
transaksi-transaksi lainnya. Dalam transaksi jual beli, kadang-kadang terjadi
penyesalan yang dialami oleh salah satu pihak yang bertransaksi atas transaksi
yang telah sah dan ingin membatalkannya. Tentu saja dalam pemutusan akad ini
kadang-kadang menimbulkan kerugian di salah satu pihak, untuk menjamin
tergantinya kerugian itu dan agar pihak yang berakad tidak seenaknya sendiri
membatalkan akad.Dalam makalah ini akan membahas pemutusan akad melalui kesepakan bersama
sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau Iqalah.
Makalah ini juga mengkaji penetapan harga oleh negara dalam koridor fikih dengan
mempertimbangkan realitas ekonomiterutama pada bagaimana peran negara dalam mewujudkan
kestabilan harga dan bagaimana mengatasi masalah ketidakstabilan harga. Para
ulama berbeda pandapat mengenai boleh tidaknya negara menetapkan harga.
Masing-masing golongan ulama ini memiliki dasar hukum dan interpretasi.
B.
Rumusan Masalah
Dari
uraian latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan beberapa pokok masalah berikut.
1.
Bagaimanakah khiyar dalam jual beli?
2.
Apa perbedaan khiyar dengan garansi?
3.
Apa yang dimaksud dengan iqalah?
4.
Bagaimanakah hukum tas’ir dalam jual beli?
C.
Tujuan
Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mendeskripsikan khiyar dalam jual beli.
2.
Untuk menjelaskan perbedaan garansi dengan khiyar.
3.
Untuk menjelaskan iqalah.
4.
Untuk mendeskripsikan hukum tas’ir dalam jual beli.
D.
Manfaat
Beberapa manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini yakni sebagai
berikut.
1.
Menambah kazanah ilmu pengetahuan mengenai materi yang dibahas yaitu
khiyar, iqalah, dan hukum tas’ir khususnya bagi penulis umumnya bagi pembaca.
2.
Makalah ini dapat dijadikan salah satu sumber bacaan bagi pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Khiyar
1.
Arti dan Jumlah Khiyar
Telah
disinggung bahwa akad yang sempurna harus terhindar dari khiyar, yang
memungkinkan aqid (orang yang akad) membatalkannya. Pengertian khiyar menurut
ulama fiqih adalah:[1]
رُ رُخِيَا الْخِيَا كَانَ اِنْ فَسْخِهِ اَوْ الْعَقْدِ اِمْضَاءِ فِى الْحَقُّ قِدِ لِلْمُتَعَا يَكُوْنَ أَنْ
تَعِيْينٍ رُخِيَارُ الْخِيَا كَانَ اِنْ الْبَيْعَيْنِ اَحَدُ يَخْتَارَ اَنْ اَوْ عَيْبٍ اَوْ اَوْرُوْسَةٍ شَرْطٍ
Artinya:
“suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk
memutuskan akadnya, yakni menjadikannya atau membatalkannya jika khiyar
tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib atau ru’yah, atau hendaklah memilih
diantara dua barang jika khiyar ta’yin.”
Jumlah
khiyar sangat banyak dan diantara para ulama telah terjadi perbedaan pendapat.
Menurut ulama Hanafiyah, jumlahnya 17.Ulama
Malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian, yaitu khiyar al-taammul
(melihat, meneliti), yakni khiyar secara mutlak dan khiyar naqish (kurang),
yakni apabila terdapat kekurangan atau ‘aib pada barang yang dijual (khiyar
al-hukmy). Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa khiyar majlis itu batal.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar terbagi dua,
khiyar at-tasyahi adalah khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama transaksi
sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua
adalah khiyar naqishah yang disebabkan adanya perbedaan dalam lafazh atau
adanya kesalahan dalam perbuatan atau adanya penggantian. Adapun
khiyar yang didasarkan syara’ menurut Syafi’iyah ada 16 (enam belas) dan
menurut ulama Hanabilah jumlah khiyar ada 8 (delapan) macam.[2]
2.
Pembahasan khiyar paling masyhur
Dalam
menetapkan pembahasan ini, hanya akan dibahas khiyar yang paling masyhur saja,
diantaranya sebagai berikut:
a)
Khiyar
Syarat
Pengertian khiyar
syarat menurut ulama fiqih adalah:[3]
اَوْ الْعَقْدِ فَسْخِ فِى الْحَقُّ هِمَا لِغَيْرِ اَوْ لِكِيْلَهُمَا اَوْ الْعَاقِدَيْنِ حَدِ لِأَ يَكُوْنَ أَنْ
مَعْلُوْمَةٍ مُدَّةٍ خِلاَلَ اِمْضَائِهِ
Artinya:
“Suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad
atau masing-masing yang akad atau selain kedua pihak yang akad memiliki hak
atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan.”
Khiyar syarat ini diartikan juga sebagai penjualan yang didalamnya
disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun oleh pembeli.[4]Khiyar
disyariatkan antara lain untuk menghilangkan unsur kelalaian atau penipuan bagi
pihak yang akad. Contoh dari
khiyar syarat seperti, seorang pembeli
berkata: “saya jual rumah ini dengan harga
Rp.100.000.000,00- dengan syarat khiyar
selama tiga hari”. Rasulullah Saw. bersabda:
(البيهقى رواه) لَيَالٍ ثَلاَثَ اِبْتَعْتَهَا سِلْعَةٍ كُلِّ فِى بِلْخِيَارِ أَنْتَ
“Kamu
boleh khiar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga
malam”. (Riwayat Baihaqi).
b)
Khiyar
Masyru’ (disyariatkan) dan khiyar rusak
1)
Khiyar
Masyru’
Khiyar
yang disyariatkan adalah khiyar yang ditetapkan batasan waktunya. Hal itu
didasarkan pada hadist Rasulullah SAW.
tentang riwayat Hibban Ibn Munqid yang menipu dalam jual-beli, kemudian
perbuatannya itu dilaporkan kepada Rasulullah SAW., lalu beliau berkata:
(مسلِم رواه) اَيَّامٍ ثَلاَثَةَ اَلْخِيَارُ وَلِى لاَخِلاَبَةَ : فَقُلْ يَعْتَ بَا اِذَا
Artinya:
“Jika
kamu bertransaksi (jual-beli), katakanlah, tidak ada penipuan dan saya khiyar
selama tiga hari.” (HR. Muslim)
2)
Khiyar
Rusak
Menurut
pendapat paling masyhur dikalangan ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah,
khiyar yang tidak jelas batasan waktunya adalah tidak sah, seperti pernyataan,
“Saya beli barang ini dengan syarat sayaberkhiyar
selamanya”. Perbuatan ini mengandung unsur jahalah
(ketidakjelasan).
Menurut
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual-beli seperti itu batal. Khiyar sangat
menentukan akad, sedangkan batasannya tidak diketahui, sehingga akan
menghalangi aqid (orang yang melakukan akad) untuk menggunakan (tasharruf)
barang tersebut.
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa jual-beli tersebut fasid, tetapi tidak batal. Jika
syarat tersebut belum sampai tiga hari atau tidak bertambah dari tiga hari,
atau memberikan penjelasan tentang masa khiyar, akad menjadi sah sebab telah
hilang penyebab yang merusakannya. Selain itusyarat khiyar berubah sesuai
dengan landasan asalnya, yaitu tiga hari sebagaimana dinyatakan dalam hadist
riwayat Hibban Ibn Munqid. Dengan demikian, persyaratan khiyar tanpa batas
dengan sendirinya gugur oleh landasan asal tersebut.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa penguasa diharuskan membatasi khiyar secara adat
sebab khiyar bergantung pada barang yang dijadikan akad. Namun tidak boleh
terlalu lama melewati batasan khiyar dengan sesuatu yang tidak jelas, seperti
mensyaratkan khiyar turunnya hujan atau sampai datangnya seseorang.
v
Batasan khiyar masyru’.
Ulama Hanafiyah, Jafar, dan
Syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar dibolehkan dengan waktu yang ditentukan
selagi tidak lebih dari tiga hari. Golongan ini,
selaim beralasan dengan hadist dari Munqid di atas, juga mendasarkan pada
hadist dari Ibn Umar tentang pertanyaan Anas:
. اَيَّامٍ اَرْبَعَةَ الْخِيَارَ عَلَيْهِ وَاشْتَرَطَ بَعِيْرًا رَجُلٍ مِنْ اِشْتَرَى رَجُلًا أَنَّ
.اَيَّامٍ ثَلاَثَةُ الْخِيَارُ : وَقَالَ الْبَيْعَ .م.ص اللهِ رَسُوْلُ فَاَبْطَلَ
(الرّزاق عبد رواه)
Artinya:
“Seseorang
laki-laki membeli seekor unta dari laki-laki lainnya, dan ia mensyaratkan
khiyar selama empat hari. Rasulullah SAW membatalkan jual-beli tersebut dan
bersabda, “Khiyar adalah tiga hari”.
(HR. Adurrazaq)
Ulama
Hanafiyah dan Ja’far berpendapat bahwa waktu tiga hari adalah waktu cukup dan
memenuhi kebutuhan seseorang. Dengan demikian, jika melewati tiga hari, jual-beli tersebut batal.
Akan tetapi, akad tersebut dapat menjadi sahih, jika diulangi dan tidak
melewati tiga hari. Adapun menurut Ja’far, jika diulangi dan tidak melewati
tiga hari, tidak dapat menjadi akad yang sahih.
Imam
Syafi’ipun berpendapat bahwa khiyar diperbolehkan menurut kesepakatan orang
yang akad, baik sebentar maupun lama. Hal itu didasarkan antara lain pada
pernyataan Ibn Umar yang membolehkan khiyar lebih dari sebulan. Selain itu,
khiyar syarat sangat berkaitan dengan orang yang memberikan syarat. Oleh karena
itu, diserahkan kepada orang yang melakukan akad.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa khiyar syarat dibolehkan sesuai dengan kebutuhan.
Buah-buahan yang akan rusak sebelum tiga hari, dibolehkan khiyar kurang dari
tiga hari. Golongan ini beralasan bahwa hakikatnya khiyar ditujukan untuk
menguji barang yang dijual sehingga berbeda-beda bagi tiap-tiap barang. Memang
benar, ada hadist yang membatasinya, tetapi hal itu hanya sebagai peringatan
saja, yakni termasuk kepada khas, tetapi yang dimaksud umum الْعَامُ اُرِيْدُبِهِ الْخَاصِ بَابِ مِنْ[5]Adapun
menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah, hal ini termasuk bab khusus dan
dimaksudkan khusus الْخَاصُ بِهِ اُرِيْدُ الْخَاصِ بَابِ مِنْ.
v
Cara
menggunakan khiyar
Dimaklumi
bahwa akad atau jual-beli yang di dalamnya terdapat khiyar adalah akad yang
tidak lazim. Dengan demikian, akad tersebut akan menjadi lazim jika khiyar
tersebut gugur.
Cara
menggugurkan khiyar tersebut ada tiga:
1)
Pengguguran
jelas (sharih)
Pengguguran
sharih adalah pengguguran oleh orang yang berkhiyar, seperti menyatakan, “Saya
batalkan khiyar dan saya rida”. Dengan demikian, akad menjadi lazim (sahih).
Sebaliknya, akad gugur dengan pernyataan, “Saya batalkan atau saya gugurkan
akad ini”.
2)
Pengguguran
dengan dilalah
Pengguguran
dengan dilalah adalah adanya tasharruf (beraktivitas dengan barang tersebut)
dari pelaku khiyar yang menunjukkan bahwa jual-beli tersebut jadi dilakukan,
seperti pembeli menghibahkan barang tersebut kepada orang lain atau sebaliknya,
pembeli mengembalikan kepemilikan kepada penjual. Pembeli menyerahkan kembali
barang kepada penjual menunjukkan bahwa ia membatalkan jual-beli atauakad.
3)
Pengguguran
khiyar dengan kemadaratan
Pengguguran
khiyar dengan adanya kemadaratan terdapat dalam beberapa keadaan, antara lain
berikut ini:
(a). Habis
waktu
Khiyar
menjadi gugur setelah habis waktu yang telah ditetapkan walaupun tidak ada
pembatalan dari yang khiyar. Dengan demikian, akad menjadi lazim. Hal itu
sesuai dengan pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.
Menurut ulama Malikiyah, akad ini tidak lazim dengan
berakhirnya waktu, tetapi harus ada penetapan atau pembatalan dari yang
berkhiyar sebab khiyar merupakan hak bukan kewajiban. Oleh karena itu, akad
tidak gugur dengan berakhirnya waktu. Contohnya, janji seorang tuan terhadap
budak (al-mukatab) untuk dimerdekakan pada waktu tertentu. Budak tersebut tidak
menjadi merdeka karena habisnya waktu.
(b).Kematian orang yang memberikan syarat
Jika orang yang memberikan syarat meninggal dunia, khiyar
menjadi gugur, baik yang meninggal itu sebagai pembeli maupun penjual, lalu
akadpun menjadi lazim, sebab tidak mungkin membatalkannya. Namun
demikian, tentang kewarisan khiyar syarat, diantara para ulama terjadi
perbedaan pendapat, antara lain:
Ø
Menurut
ulama Hanafiyah, khiyar syarat tidak dapat diwariskan, tetapi gugur dengan
meninggalnya orang yang memberikan syarat.
Ø
Ulama Hanabiyah berpendapat bahwa khiyar menjadi batal dengan meninggalnya
orang yang memberikan syarat, kecuali jika ia mengamanatkan untuk membatalkannya,
dalam hal ini, khiyar menjadi hak ahli waris.
Ø
Ulama
Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa khiyar menjadi haknya ahli waris.
Dengan demikian, tidak akan gugur
dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat.
(c). Adanya hal-hal yang
semakna dengan mati
Khiyar
gugur dengan adanya perkara-perkara yang semakna dengan mati, seperti gila,
mabuk, dan lain lain. Dengan demikian, jika akal seseorang hilang karena gila,
mabuk, tidur, atau hal lainnya, akad menjadi lazim.
(d). Barang rusak ketika
masih khiyar
Tentang
rusaknya barang dalam tentang waktu khiyar terdapat beberapa masalah, apakah
rusaknya setelah diserahkan kepada pembeli atau masih dipegang oleh penjual, dan lain-lain.
Sebagaimana akan dijelaskan dibwah ini:
Ø
Jika
barang masih ditangan penjual, batalah jual-beli dan khiyar pun gugur.
Ø
Jika
barang sudah ada ditangan pembeli, jual-beli batal jika khiyar berasal dari
penjual, tetapi pembeli harus menggantinya
Ø
Jika
barang sudah ada ditangan
pembeli dan khiyar berasal dari pembeli, jual-beli menjadi lazim dan khiyar pun
gugur.
Ø
Ulama
Syafi’iyah seperti halnya ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika barang rusak
dengan sendirinya, khiyar gugur dan jual belipun batal.
(e). Adanya cacat pada
barang
Dalam
masalah ini ada beberapa penjelasan
mengenai khiyar:
Ø
Jika
khiyar berasal dari penjual, dan cacat terjadi dengan sendirinya, khiyar gugur
dan jual-belipun batal. Akan tetapi, jika cacat karena perbuatan pembeli atau
orang lain, khiyar tidak gugur, tetapi
pembeli berhak khiyar dan bertanggung jawab atas kerusakannya. Begitu
pula jika orang lain yang merusaknya, ia bertanggung jawab atas kerusakannya.
Ø
Jika
khiyar berasal dari pembeli dan ada cacat, khiyar gugur, tetapi jual-beli tidak
gugur, sebab barang berada pada tanggung jawab pembeli.
(f). Hukum akad pada masa
khiyar
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa tidak terjadi akad pada jual-beli yang mengandung
khiyar, tetapi ditunggu sampai gugurnya khiyar.
Adapun menurut ulama Malikiyah dalam riwayat Ahmad,
barang yang ada pada masa khiyar masih milik penjual, sampai gugurnya khiyar,
sedangkan pembeli belum memiliki hak sempurna terhadap barang.
Ulama
Syafi’iyah berpendapat, jika khiyar syarat berasal dari pembeli, barang
menjadimilik pembeli. Sebaliknya, jika khiyar berasal dari penjual, barang
menjadi hak penjual. Jika khiyar syarat berasal dari penjual dan pembeli,
ditunggu sampai jelas (gugurnya
khiyar).
Adapun
menurut ulama Hanabiyah, dari siapapun khiyar berasal, barang tersebut menjadi
milik pembeli. Jual-beli dengan khiyar, sama seperti jual-beli lainnya, yakni
menjadikan pembeli sebagai pemilik barang yang tadinya milik penjual. Mereka
mendasarkan pada hadist Nabi SAW dari Ibn Umar :
الْمُبْتَاعُ يَشْتَرِطَ اِلاَّاَنْ لِلْبَائِعِ فَمَالُهُ مَالٌ وَلَهُ عَبْدًا بَاعَ مَنْ
Artinya:
“barang
siapa yang menjual hamba yang memiliki harta, maka harta tersebut milik
penjual, kecuali jika pembeli memberikan syarat”.
Pada
hadist diatas Rasulullah SAW menetapkan bahwa harta mejadi milik pembeli dengan
adanya syarat.
(g). Cara membatalkan atau
menjadikan akad
Adanya
penetapan atau pembatalan dengan maksud, ulama Hanafiyah sepakat bahwa pembuat
khiyar memiliki hak penuh walaupun tanpa sepengetahuan pemilik barang. Namun
demikian, harus diucapkan, seperti dengan perkataan, “Saya jadikan akad atau
saya ridho”. Tidak cukup dengan hati sebab hukum Islam mencakup ucapan dan
perbuatan merupakan ungkapan yang ada dalam hati.
c)
Khiyar
Majlis
1)
Arti
Khiyar Majlis
يَتَفَرَّ لَمْ الْعَقْدِ مَجْلِسِ فِى مَادَامَ الْعَقْدِ فَسْخُ حَقٌّ الْعَاقِدَيْنِ مِنَ لِكُلٍّ يَكُوْنَ اَنْ
.الْعَقْدِ لُزُوْمُ فَيُخْتَارُ الاٰخَرَ هُمَا اَحَدُ يُخَيِّرُ نِهَا بِاَبْدَا قَا
Artinya:
“Hak
bagi semua yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada di
tempat akad dan kedua pihak sebelum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga
muncul kelaziman dalam akad”.
Khiyar
majlis dikenal di kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Dengan demikian,
akad akan menjadi lazim, jika kedua pihak telah berpisah atau memilih. Hanya
saja, khiyar majlis tidak dapat berada pada setiap akad. Khiyar majlis hanya
ada pada akad yang sifatnya pertukaran, seprti jual-beli, upah-mengupah, dan
lain-lain.
2)
Pandangan
para ulama tentang khiyar majlis
Berkaitan
dengan khiyar majlis, pendapat para ulama terbagi dua bagian:
v
Ulama
Hanafiyah dan Malikiyah
Golongan
ini berpendapat bahwa akad dapat menjadi lazim dengan adanya ijab dan qabul,
serta tidak bisa hanya dengan khiyar, sebab Allah SWT menyuruh untuk menepati
janji, sebagaimana firman-Nya بِالْعُقُوْدِ اَوْفُوْا (kamu semua harus menepati janji),
sedangkan khiyar menghilangkan keharusan tersebut.
Selain
itu, suatu akad tidak akan sempura, kecuali dengan adanya keridaan, sebagaimana
firman-Nya:
(٢٩: النساء)
مِنْكُمْ تَرَاضٍ عَنْ تِجَارَةً تَكُوْنَ اَنْ اِلاَّ
Artinya
“Kecuali
dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”.
Sedangkan
keridhaan hanya dapat
diketahui dengan ijab dan qabul. Dengan demikian, keberadaan akad tidak dapat
digantungkan atas khiyar majlis.Golongan ini tidak mengambil hadist-hadist yang
berkenaan dengan keberadaan khiyar majlis sebab mereka tidak mengakuinya.
Selain itu, adanya anggapan tentang keumuman ayat diatas. Bahkan ulama
Hanafiyah menakwil hadist tentang khiyar majlis, yaitu:
.اِخْتَرْ : لِلْاَخَرِ هُمَا اَحَدُ اَوْيَقُوْلُ يَتَفَرَّقَا لَمْ مَا بِلْخِيَارِ اَلْبَيِّعَانِ
(ومسلم البخارى رواه)
Artinya:
“Orang yang berjual-beli (penjual dan pembeli) berhak
khiyar sebelum keduanya berpisah, atau salah satunya mengatakan kepada yang
lain dengan berkata, pilihlah!”.
(HR. Bukhari dan Muslim)[7]
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud dua orang yang akad pada
jual-beli adalah orang yang melakukan tawar-menawar sebelum akad, untuk berakad
atau tidak. Adapun maksud dari berpisah adalah
berpisah dari segi ucapan dan bukan badan. Dengan kata lain, bagi yang
menyatakan ijab, ia boleh menarik ucapannya sebelum dijawab qabul, sedangkan
bagi yang lainnya (penerima) boleh memilih apakah ia akan menerimanya di tempat
tersebut atau menolaknya.
Menurut
Wahbah Al-Juhaili, takwil diatas tidak berfaedah sebab orang yang akad, bebas
untuk memilih, menerima atau menolak. Dengan demikian, orang yang tidak
menerima tidak dapat dikatakan berpisah. Hadist tentang khiyar majlispun dapat
dikatakan menyalahi keridhaan sebab majlis justru
untuk memperkuat adanya keridhaan.
v
Ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah
Ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa adanya khiyar majlis. Kedua golongan
ini berpendapat bahwa jika pihak yang akad menyatakan ijab dan qabul, akd
tersebut masih termasuk akad yang boleh atau tidak lazim selagi keduanya masih
berada di tempat atau belum berpisah badannya. Keduanya masih memiliki
kesempatan untuk membatalkan, menjadikan, atau saling berpikir. Adapun batasan
dari kata berpisah diserahkan kepada adat atau kebiasaan manusia dalam
bermuamalah, yakni dapat dengan berjalan, naik tangga atau turun tangga, dan
lain-lain.Mereka berpendapat bahwa khiyar majlis disyariatkan dalam Islam,
berdasarkan hadist sahih diatas.
d)
Khiyar
‘Aib (Cacat)
1)
Arti
dan Landasan Khiyar ‘Aib
Arti
khiyar ‘aib (cacat) menurut ulama fiqih adalah:[8]
عَيْبٌ اِذَاوُجِدَ اِمْضَاءِهِ اَوْ الْعَقْدِ فَسْخِ فِى الْحَقُّ الْعَاقِدَيْنِ لِأَحَدِ يَكُوْنَ اَنْ
الْعَقْدِ وَقْتَ بِهِ عَالِمًا حِبُهُ صَا يَكُنْ وَلَمْ لَيْنِ الْبَدْ اَحَدِ فِى
Artinya:
“Keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad
memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib
(kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar yang tidak
diketahui pemilik waktu akad”.
Dengan demikian, penyebab, khiyar aib adalah adanya cacat dan barang yang
dijual belikan (ma’qub alaih) atau harga (tsaman), karena kurang nilainya atau
tidak sesuai dengan maksud atau orang yang akad tidak meneliti kecacatannya
ketika akad.
Ketetapan adanya khiyar mensyaratkan adanya barang pengganti, baik
diucapkan secara jelas ataupun tidak, kecuali jika ada keridhaan dari yang
akad. Sebaliknya, jika tidak tampak adanya
kecacatan, barang pengganti tidak diperlukan lagi.
Khiyar
‘aib disyariatkan dalam Islam yang didasarkan pada hadist-hadist yang cukup
banyak, diantaranya :
لَهُ بَيِّنَةٌ اِلاَّ عَيْبٌ وَفِيْهِ بَيْعًا اَخِيْهِ مِنْ بَاعَ لِمُسْلِمٍ يَحِلُّ لاَ الْمُسْلِمِ اَخُوْ اَلْمُسْلِمُ
(عَامر بن عقبة عن ماجه ابن رواه)
Artinya:
“Seorang
muslim adalah saudara muslim yang lain. Tidaklah halal bagi seoramg muslim
untuk menjual barang bagi saudara-saudaranya ynag mengandung kecacatan, kecuali
jika menjelaskannya terlebih dahulu.”
(HR. Ibn Majah dari Uqbah Ibn Amir)
: فَقَلَ مَبْلُوْلٌ هُوَ فَاِذَا فِيْهِ يَدَهُ فَاَدْخَلَ طَعَامًا يَبِيْعُ بِرَجُلٍ
.م.ص النَّبِيُّ مَرَّ
.مِنَّا فَلَيْسَ غَشَّنَا مَنْ
Artinya:
“Suatu hari rasulullah SAW melewati seorang pedagang
makanan, kemudian beliau mencelupkan tangannya ke atas makanan tersebut dan
mengetahui makanan itu basah (basi). Bersabda, “Barang siapa yang menipu kitam ia bukan
dari golongan kita”.
2)
‘Aib
Mengharuskan Khiyar
Ulama
Hanfiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ‘aib pada khiyar adalah segala sesuatu
yang menunjukkan adanya kekurangan dari aslinya, misalnya berkurang nilainya
menurut adat, baik berkurang sedikit atau banyak.
Menurut ulama Syafi’iyah adalah segala sesuatu yang dapat dipandang
berkurang nilainya dari barang yang dimaksud atau tidak adanya barang yang
dimaksud, seperti sempitnya sepatu, potongnya tanduk binatang yang akan
dijadikan korban.
3)
Syarat
tetapnya Khiyar
Disyaratkan
untuk tetapnya khiyar ‘aib setelah diadakan penelitian yang menunjukkan:
v
Adanya
‘aib setelah akad atau sebelum diserahkan, yakni aib tersebut telah lama ada.
Jika adanya setelah penyerahan atau ketika berada di tangan pembeli, aib
tersebut tidak tetap.
v
Pembeli
tidak mengetahui adanya cacat ketika akad dan ketika menerima barang.
Sebaliknya, jika pembeli sudah mengetahui adanya cacat ketika menerima barang
tidak ada khiyar sebab ia dianggap telah ridha.
v
Pemilik
barang tidak mensyaratkan agar pembeli bebaskan jika ada cacat. Dengan demikian,
jika penjual mensyaratkannya tidak ada khiyar. Jika pembeli membebaskannya,
gugurlah hak dirinya. Hal itu sesuai dengan pendapat ulama Hanafiyah.
Ulama
Syafi’iyah, Malikiyah dan menurut salah satu riwayat dari Hanabilah
berpendapat bahwa seorang penjual tidak sah minta dibebaskan kepada pembeli
kalau ditemukan aib, apabila
aib tersebut sudah diketahui oleh keduanya, kecuali jika ‘aib tidak diketahui
oleh pembeli.
4)
Waktu
Khiyar ‘aib
Khiyar
‘aib tetapada sejak munculnya
cacat walaupun akad telah berlangsung cukup lama. Mengenai membatalkan akad
setelah diketahui
adanya cacat, baik secara langsung maupun ditangguhkan, terdapat dua pendapat.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa membatalkan akad setelah
diketahui adanya cacat adalah ditangguhkan, yakni tidak disyaratkan secara
langsung. Dengan demikian, ketika diketahui adanya
cacat, tetapi pengembalian diakhirkan, hal itu tidaklah membatalkan khiyar
sehingga ada tanda-tanda yang menunjukkan keridhaan. Hal ini karena
disyari’atkannya khiyar, antara lain untuk mencegah kemadharatan. Oleh karena
itu, tidak batal dengan mengakhirkannya. Selain itu, suatu khiyar akan tetap
ada dan tidak gugur, kecuali bila digugurkan atau habisnya waktu, padahal
khiyar ini tidak dibatasi oleh waktu.
Adapun ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa pembatalan akad
harus dilakukan sewaktu diketahuinya cacat, yakni secara langsung menurut adat,
tidak boleh ditangguhkan. Namun demikian, tidak
dianggap menangguhkan jika diselangi shalat, makan, minum. Di antara sebabnya,
supaya orang yang akad tidak madarat karena mengakhirkan, yakni hilangnya hak
khiyar karena mengakhirkan sehingga akad menjadi lazim.
5)
Cara
Pengembalian Akad
Apabila
barang masih berada di tangan pemilik pertama, yakni belum diserahkan kepada
pembeli, akad dianggap telah dikembalikan (dibatalkan), dengan ucapan, “Saya
kembalikan”. Dalam hal ini tidak memerlukan keputusan seorang hakim, tidak pula
membutuhkan keridhaan. Hal itu disepakati oleh ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah.
Ulama
Hanafiyah berpendapat, apabila barang sudah diserahkan kepada pembeli, harus
ada kerelaan ketika menyerahkan atau diserahkan melalui keputusan hakim. Hal
itu untuk mencegah adanya pertentangan sebab adanya kemungkinan cacat tersebut
baru sehingga tidak wajib dikembalikan atau cacatnya sudah lama sehingga wajib
dikembalikan.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad batal dengan ucapan
pembeli, “Saya kembalikan”, tanpa membutuhkan keridhaan atau keputusan hakim,
sebagaimana pembatalan pada khiyar syarat atau khiyar ru’yah, sebab khiyar ‘aib
menjadikan jual-beli tidak lazim. Orang yang
khiyar dibolehkan membatalkan akad tanpa seizin penjual atau keputusan hakim.
6)
Hukum
Adat dalam Khiyar ‘aib
Hak
kepemilikan barang khiyar yang masih memungkinkan adanya ‘aib berada di tangan
pada pembeli sebab jika tidak terdapat kecacatan, barang tersebut adalah milik
pembeli secara lazim.
Dampak dari khiyar ‘aib adalah menjadikan akad tidak lazim bagi yang berhak
khiyar, baik rela atas cacat tersebut sehingga batal khiyar dan akad menjadi
lazim atau mengembalikan barang kepada pemiliknya sehingga akad batal.
7)
Perkara yang menghalangi untuk mengembalikan barang ma’qud ‘alaih (barang)
yang cacat tidak boleh dikembalikan dan akad menjadi lazim dengan adanya sebab-sebab
berikut:
v
Rida setelah mengetahui adanya cacat, baik secara jelas diucapkan atau
adanya petunjuk, seperti menggunakan barangnya (ber-tasharruf) yang menunjukkan
atas keridhaan barang yang cacat, seperti memakainya, menghadiahkannya dan
lain-lain.
v
Menggugurkan khiyar, baik secara jelas, seperti berkata, “Saya gugurkan
khiyar” atau adanya petunjuk, seperti membebaskan adanya cacat pada ma’qud
‘alaih (barang).
v
Barang
rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk aslinya.
v
Adanya
tambahan pada barang yang bersatu dengan barang tersebut dan bukan berasal dari
aslinya atau tambahan yang terpisah dari barang, tetapi berasal dari aslinya,
seperti munculnya buah atau lahirnya
anak.
8)
Mewariskan
Khiyar ‘aib
Ulama
fiqih sepakat bahwa khiyar ‘aib dan khiyar ta’yin diwariskan sebab berhubungan
dengan barang. Dengan demikian, jika yang memiliki hak khiyar ‘aib itu
meninggal, ahli memiliki hak untuk meneruskan khiyar sebab ahli waris memiliki
hak menerima barang yang selamat dari cacat.
3. Perbedaan Garansi
dengan Khiyar
Dewasa ini sering terdengar istilah
garansi. Adapun yang dimaksud dengan garansi ini dalam perjanjian jual beli
adalah tanggungan atau jaminan dari seseorang penjual bahwa yang ia jual
tersebut bebas dari kerusakan yang tidak diketahui sebelumnya (dalam hal ini
terkecuali kerusakan atau cacat yang telah diketahui, diberitahu garansi atau
jaminan ini punya jangka waktu tertentu, lazimnya 1 tahun, 2 tahun atau 3
tahun).
Contohnya A membeli sebuah
pesawat televisi kepada toko B, lantas pihak toko pada waktu menyerahkan barang
juga menyertakan kartu garansi, dalam kartu garansi lazimnya selalu dicantumkan
ketentuan-ketentuan garansi yang diberikan termasuk juga jangka waktunya.
Menurut pandangan ahli hukum
Islam perjanjian seperti ini dapat diterima (tidak bertentangan) dengan
ketentuan hukum Islam, Ibnu Al Qayyim mengemukakan: “Ini suatu kesepakatan dari
mereka, bahwa jual beli sah dan boleh adanya syarat bebas cacat”.
Menurut penulis dasar hukum
pembolehan garansi ini dalam perjanjian jual beli dapat disandarkan kepada
hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya berbunyi sebagai berikut: “Kamu lebih
mengetahui tentang urusan duniamu”[9].
Di tengah-tengah masyarakat
dewasa ini, persoalan garansi ini bukan lagi merupakan hal yang baru, bahkan
masyarakat luas nampaknya sudah menerimanya sebagai suatu kebiasaan bahkan
boleh dikatakan merupakan kelaziman, dan biasanya bila seseorang membeli
sesuatu barang berharga, sebelum transaksi jual beli dilaksanakan terlebih
dahulu dinyatakannya tentang garansinya.
Apabila ada suatu kelaziman
telah diterima di tengah-tengah masyarakat, dan kelaziman itu tidak pula
bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam (Hukum Islam), maka kelaziman
tersebut adalah merupakan hukum, hal ini sejalan dengan kaidah hukum Islam yang
dalam bahasa Indonesianya berbunyi sebagai berikut: “Ada kebiasan itu diakui
sebagai landasan dasar hukum”. Atau dalam istilah lain bahwa kebiasaan itu
merupakan sumber hukum.
Mengenai ketentuan-ketentuan
garansi yang merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak dalam perjanjian
garansi biasanya tercantum dalam surat garansi yang diberikan penjual kepada
pembeli sebagai pemenuhan terhadap hak-hak pembeli. Dalam perjanjian garansi
ini, kewajiban yang harus dilakukan penjual adalah menanggung cacat yang ada
pada pihak penjual yang tidak diketahui oleh pembeli. Karena
merupakan hak pembeli ketika melakukan transaksi. Adapun hak dan kewajiban
antara penjual dan pembeli dalam perjanjian garansi diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diantaranya[10]:
a.
Pembeli
berhak untuk memilih barang, serta mendapatkan barang tersebut sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
b.
Pembeli
berhak atas informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang.
c.
Pembeli
berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian apabila
barang yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
d.
Penjual
wajib memberikan informasi yang benar, mengenai kondisi dan jaminan barang
serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
e.
Penjual
wajib menjamin mutu barang yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutu barang yang berlaku.
f.
Penjual
berkewajiban untuk memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau
mencoba barang tertentu serta memberi jaminan garansi atas barang yang
diperdagangkan.
g.
Penjual
wajib memberikan kompensasi, ganti rugi dan penggantian apabila barang yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Oleh
karenanya dalam suatu perjanjian garansi apabila salah satunya melanggar
perjanjian yang telah disepakati oleh keduanya maka akan diminta
pertanggungjawaban.
v Konsep Dasar Garansi
Jenis garansi
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu garansi satu dimensi, garansi
dua dimensi, dan garansi tambahan (extended
warranty).
1.
Garansi Satu Dimensi
Kebijakan garansi satu dimensi dikarakteristikkan
oleh satu atribut, yaitu umur produk atau pemakaian. Sebagai contoh, sebuah TV
digaransi selama satu tahun. Jenis
garansi ini dibagi ke dalam dua kategori utama yaitu Free Replacement Warranty (FRW) dan Pro Rata Warranty (PRW).
Pada FRW.
perbaikan produk yang mengalami kerusakan selama masa garansi tanpa dikenakan
biaya kepada konsumen. Sedangkan, pada PRW. produk baru sebagai pengganti dari
produk yang rusak dalam masa garansi
diberikan dengan harga diskon. Atau konsumen harus mengeluarkan sejumlah uang
(yang besarnya proporsional terhadap sisa masa garansi pada saat produk rusak)
untuk mendapatkan produk baru. FRW. cocok diterapkan untuk produk yang dapat
direparasi, misalnya komputer, sedangkan PRW tepat untuk produk yang tidak
dapat direparasi, misalnya ban mobil.
2.
Garansi
Dua Dimensi
Kebijakan garansi dua dimensi dikarakteristikkan
oleh dua atribut (dimensi), di mana satu dimensi menjelaskan batas umur dan
dimensi yang lainnya penggunaan. Garansi dua dimensi banyak ditawarkan untuk
produk otomotif, pesawat terbang, dan lain-lain. Sebagai contoh, sebuah mobil
atau sepeda motor diberi garansi satu tahun atau 12.000 km, tergantung yang
mana yang berakhir lebih dahulu.
3.
Garansi
Tambahan (Extended Warranty)
Beberapa
tahun terakhir ini, produsen menawarkan garansi tambahan (extended warranty). Sebagai contoh, banyak dealer yang menawarkan penjualan
mobil dengan garansi tambahan setelah masa garansi dasar (base warranty) berakhir, misalnya
perpanjangan waktu garansi satu tahun. Hal serupa untuk produk elektronik, di
mana pembeli dapat mengajukan garansi tambahan, misalnya satu sampai dua tahun.
Garansi dapat diperpanjang dengan melakukan kontrak kesepakatan baru tetapi konsumen
harus mengeluarkan sejumlah uang atau membeli jasa ini. Garansi tambahan ini
merupakan pilihan bagi konsumen untuk memperpanjang atau tidak, atau sifatnya
tidak diwajibkan. Garansi tambahan dapat
ditawarkan oleh produsen maupun pihak ketiga. Garansi tambahan mirip dengan service contract di mana ada pihak luar
(produsen atau pihak ketiga) yang sanggup merawat produk untuk periode tertentu
berdasarkan kontrak dengan pemilik produk.
Bagi
produsen, garansi tambahan memberikan layanan purna jual kepada konsumen yang
tidak terbatas pada masa garansi tetapi juga di luar garansi. Layanan purna
jual yang baik akan menciptakan kepuasan pelanggan (customer satisfication) yang tinggi, sehingga akan menambah
loyalitas konsumen terhadap produk. Dan ini dapat digunakan sebagai alat
promosi yang efektif untuk memenangkan persaingan dengan produk yang sejenis.Penawaran ongkos yang relatif murah dan garansi tambahan
yang menguntungkan konsumen membuat jasa garansi tambahan menjadi suatu produk
yang menarik bagi konsumen. Dan ini membuka peluang bisnis untuk memberikan
jasa garansi tambahan oleh pihak ketiga.
Dari konsep garansi di atas kita dapat mengetahui perbedaan yang
signifikan antara khiyar dengan garansi. Garansi adalah proses dan prosedur penggantian barang yang dimaksudkan
sebagai bentuk pertanggung jawaban atas mutu dan kualitas dari barang yang
dibeli. Waktu atau masa berlaku dan batasan-batasan atau klausul dari garansi
diatur oleh mekanisme prosedural yang mengikat dan berketetapan, dimana
prosedur tersebut harus dijalankan dengan pertimbangan kebijakan dari
pihak-pihak yang berkaitan. Garansi dan khiyar sangat berbeda tetapi memiliki
sedikit persamaan yaitu sama-sama merupakan jaminan mutu, sama-sama memberikan
tenggang waktu ketika melakukan jual beli.
B. Iqalah
1.
Pengertian Iqalah
Suatu akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan
syarat-syaratnya akan mengikat kedua belah pihak yang berakad. Oleh karena itu
dengan mengikatnya akad tersebut, maka tidak seorangpun dari kedua belah pihak
yang berakad bisa memutuskan akad secara sepihak kecuali ada hal-hal yang dapat membenarkannya.
Diantaranya adalah melalui kesepakatan antara kedua
belah pihak untuk membatalkan atau memutuskan akad. Iqalah menurut bahasa
adalah membebaskan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan para pihak
berdasarkan kesepakatan bersama untuk mengakhiri suatu akad yang telah mereka
buat dan menghapus akibat hukum yang timbul sehingga status para pihak kembali
seperti sebelum terjadinya akad yang diputuskan
tersebut. Atau dengan kata lain, iqalah adalah kesepakatan bersama antara dua
belah pihak yang berakad untuk memutuskan akad yang telah mengikat dan
menghapus segala akibat hukum yang ditimbulkan dari suatu akad tertentu.
Dasar syariah dari iqalah adalah hadits riwayat Ibn
Hibban dari Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda: “Barang siapa menyetujui permintaan pemutusan transaksi dari seorang
yang menyesal, Allah akan membebaskannya dari kesalahannya di hari kiamat”.Dari hadits
ini bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam suatu transaksi terkadang salah satu
pihak merasa menyesal atas transaksi tersebut dan menginginkan untuk
membatalkannya. Contoh iqalah adalah seperti seseorang menjual 100 liter beras
dengan harga Rp 100.000. Beras itu telah diserahkannya kepada pembeli, tetapi
harganya belum dibayar. Beberapa hari
kemudian, penjual berkata kepada pembeli, "Bayarlah harganya atau
kembalikan beras itu kepada saya.” Dalam hal ini, pembeli mungkin bersedia
membayar harga beras itu, baik seluruhnya atau sebagiannya. Dan mungkin pula
mengembalikan beras yang telah dibelinya itu. Perbuatan mengembalikan beras
itu, baik seluruhnya atau sebagiannya kepada penjual disebut iqalah.
Pada dasarnya ulama empat madzhab sepakat atas
diperbolehkannya iqalah, hanya saja terdapat perbedaan pendapat diantara mereka
tentang hakikat iqalah. Ulama empat madzhab dalam masalah ini terbagi menjadi
tiga golongan, yaitu:
1.
Madzhab
Syafi`I, Hambali, serta Zufar dan al-Hasan (keduanya adalah ulama bermadzhab
Hanafi) berpendapat bahwa iqalah adalah pemutusan akad, baik yang dalam
kaitannya dengan dua belah pihak yang berakad maupun yang berkaitan dengan
pihak ketiga. Status keduanya kembali seperti sediakala sebelum
adanya akad, dan tidak boleh ada perubahan harga.
2.
Madzhab Maliki,
Abu Yusuf dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa iqalah adalah akad baru baik
bagi para pihak yang berakad maupun bagi pihak ketiga kecuali dalam hal iqalah
memang tidak bisa dianggap sebagai akad baru, namun dalam kasus demikian iqalah
dianggap sebagai pemutusan akad.
3.
Imam Hanafi
berpendapat bahwa iqalah adalah sebagai pemutusan akad dalam kaitannya dengan
pihak yang berakad. Sedangkan dalam kaitannya dengan pihak yang ketiga, maka iqalah
adalah suatu akad baru. Dengan demikian maka status antara dua pihak yang
bertransaksi kembali seperti ketika belum diadakannya transaksi. Adapun untuk
melindungi hak-hak dari pihak ketiga, maka iqalah dianggap sebagai akad baru di
mata pihak ketiga.
2.
Syarat Iqalah
Agar pemutusan akad melalui iqalah ini dianggap sah,
maka harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
a.
Akad yang
diputuskan melalui iqalah harus termasuk jenis akad yang bisa difasakh.
b.
Adanya persetujuan kedua belah pihak yang
berakad atas pemutusan ini.
c.
Obyek akad
masih ada.
d.
Tidak boleh ada penambahan harga, hanya saja
biaya pembatalan dikenakan kepada pihak yang meminta pemutusan akad.
C. Hukum Tas’ir
1.
Pengertian Tas’ir
Kata tas'ir
berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran yang artinya
menyalakan. Secara etimologi kata at-tas’ir (ﺍﻠﺗﺳﻌﻴﺭ) seakar dengan kata as-si’r (ﺍﻠﺳﻌﺭ
= harga) yang berarti penetapan harga. Kata as-si'r ini digunakan di
pasar untuk menyebut harga (di pasar) sebagai penyerupaan terhadap aktivitas penyalaan
api, seakan menyalakan nilai (harga) bagi sesuatu.
Dikatakan,
Sa arat asy-syay a tas îran, artinya menetapkan harga sesuatu yang
merupakan titik berhenti tawar-menawar.dikatakan, As
arû wa sa arû, artinya mereka telah bersepakat atas suatu harga tertentu.
Oleh karena itu, tas‘îr secara bahasa
berarti taqdîr as-si‘ri
(penetapan/penentuan harga).
2.
Dasar Hukum at-Tas’ir
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ketentuan
penetapan harga ini tidak dijumpai dalam al-Qur’an. Adapun dalam hadits
Rasulullah Saw. dijumpai beberapa hadits, yang dari logika hadits itu dapat
diinduksi bahwa penetapan harga itu dibolehkan. Faktor dominan yang menjadi
landasan hukum at-tas’ir, menurut kesepakatan ulama fiqh adalah al-maslahah
al-mursalah.
Hadits Rasulullah saw yang berkaitan dengan
penetapan harga adalah sebuah riwayat dari Anas Ibn Malik. Dalam riwayat itu
dikatakan:“Pada zaman Rasulullah saw, terjadi pelonjakan harga dipasar, lalu
sekelompok orang menghadap kepada Rasulullah saw .seraya berkata: ya
Rasulullah, harga-harga dipasar kian melonjak begitu tinggi, tolonglah tetapkan
harga itu. Rasulullah saw, menjawab: sesungguhnya Allahlah yang (berhak)
menetapkan harga dan menahannya, melapangkan dan memberi rezeki. Saya berharap
akan bertemu dengan Allah dan jangan seseorang diantara kalian menuntut saya
untuk berlaku zalim dalam soal harta dan nyawa.
Dalil lainnya,
hadits Nabi Saw. yang artinya:
“Janganlah orang kota menjual kepada orang dusun, biarkanlah manusia, Allah
akan memberi rizki kepada mereka sebagian dari sebagian lainnya.”
Dari hadits ini Rasulullah saw melarang orang kota
yang tahu harga menjual barang dagangan kepada orang dusun yang tidak tahu
harga. Karena hal ini akan dapat melonjakkan harga. Maka tas’ir dibolehkan agar
tidak terjadi pelonjakan harga.
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, tas’ir yang
dibolehkan itu contohnya : penguasa melarang para pedagang untuk menjual barang
dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar, sementara saat itu masyarakat
sangat membutuhkan barang itu. Maka dalam kondisi seperti ini penguasa
mewajibkan pedagang menjual dengan harga pasar, karena ini berarti mengharuskan
keadilan. Padahal keadilan adalah hal yang diperintahkan Allah.
Para ulama fiqh menyatakan bahwa kenaikan harga
yang terjadi di zaman Rasulullah Saw. itu bukanlah oleh tindakan
sewenang-wenang dari para pedagang, tetapi karena memang komoditi yang ada
terbatas. Sesuai dengan hukum ekonomi apabila stok terbatas, maka lumrah harga
barang itu naik. Oleh sebab itu dalam keadaan demikian Rasulullah Saw.
tidak mau campur tangan membatasi harga komoditi di pasar itu, karena tindakan
seperti ini bersifat zalim terhadap para pedagang. Padahal, Rasulullah Saw.
tidak akan mau dan tak akan pernah berbuat zalim kepada sesama manusia, tidak
terkecuali kepada pedagang dan pembeli. Dengan demikian, menurut para pakar
fiqh, apabila kenaikan harga itu bukan karena ulah para pedagang, maka pihak
pemerintah tidak boleh ikut campur dalam masalah harga, karena perbuatan itu
menzalimi para pedagang.
3.
Macam-Macam Tas’ir
Para ulama fiqh membagi tas’ir kepada dua macam,
yaitu :Pertama, harga yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan dan
ulah para pedagang. Dalam harga seperti ini, para pedagang bebas menjual
barangnya sesuai dengan harga yang wajar, dengan mempertimbangkan
keuntungannya. Pemerintah dalam harga yang berlaku secara alami ini tidak boleh
campur tangan karena campur tangan pemerintah dalam kasus seperti ini boleh
membatasi hak para pedagang.
Kedua, harga suatu
komoditi yang ditetapkan pemerintah setelah mempertimbangkan modal dan
keuntungan bagi para pedagang dan keadaan ekonomi masyarakat. Penetapan harga
dari pemerintah ini disebut dengan at-tas’ir al-jabari.
Menurut Abd. Karim Ustman, pakar fiqh dari Mesir,
dalam perilaku ekonomi, harga suatu komoditi akan stabil apabila stok barang
tersedia banyak di pasar, karena antara penyediaan barang dan dengan permintaan
konsumen terdapat keseimbangan. Akan tetapi, apabila barang yang tersedia
sedikit, sedangkan permintaan konsumen banyak, maka dalam hal ini akan terjadi
fluktuasi harga. Dalam keadaan yang disebutkan terakhir ini, menurutnya, pihak
pemerintah tidak boleh ikut campur dalam masalah harga itu. Cara yang boleh
menstabilkan harga itu adalah pemerintah berupaya menyediakan komoditi dimaksud
dan menyesuaikannya dengan permintaan pasar. Sebaliknya, apabila stok barang
cukup banyak di pasar, tetapi harga melonjak naik, maka pihak pemerintah perlu
melakukan pengawasan yang ketat. Apabila kenaikan harga ini disebabkan ulah
para pedagang, misalnya dengan melakukan penimbunan dengan tujuan menjualnya
setelah melonjaknya harga (ihtikar), maka kasus seperti ini pemerintah
berhak untuk menetapkan harga. Penetapan harga dalam fiqh disebut dengan at-tas’ir
al-jabari.
BAB III
KESIMPULAN
رُ رُخِيَا الْخِيَا كَانَ اِنْ فَسْخِهِ اَوْ الْعَقْدِ اِمْضَاءِ فِى الْحَقُّ قِدِ لِلْمُتَعَا يَكُوْنَ أَنْ
تَعِيْينٍ رُخِيَارُ الْخِيَا كَانَ اِنْ الْبَيْعَيْنِ اَحَدُ يَخْتَارَ اَنْ اَوْ عَيْبٍ اَوْ اَوْرُوْسَةٍ شَرْطٍ
Artinya:
“suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk
memutuskan akadnya, yakni menjadikannya atau membatalkannya jika khiyar
tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib atau ru’yah, atau hendaklah memilih
diantara dua barang jika khiyar ta’yin.”
v
Dari konsep garansi pada bab pebahasan kita dapat mengetahui perbedaan yang
signifikan antara khiyar dengan garansi. Garansi adalah proses dan prosedur penggantian barang yang dimaksudkan
sebagai bentuk pertanggung jawaban atas mutu dan kualitas dari barang yang
dibeli. Waktu atau masa berlaku dan batasan-batasan atau klausul dari garansi
diatur oleh mekanisme prosedural yang mengikat dan berketetapan, dimana
prosedur tersebut harus dijalankan dengan pertimbangan kebijakan dari
pihak-pihak yang berkaitan. Garansi dan khiyar sangat berbeda tetapi memiliki
sedikit persamaan yaitu sama-sama merupakan jaminan mutu, sama-sama memberikan
tenggang waktu ketika melakukan jual beli.
v Iqalah menurut bahasa adalah
membebaskan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan para pihak berdasarkan
kesepakatan bersama untuk mengakhiri suatu akad yang telah mereka buat dan
menghapus akibat hukum yang timbul sehingga status para pihak kembali seperti
sebelum terjadinya akad yang diputuskan tersebut.
v Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran yang artinya
menyalakan. Secara etimologi kata at-tas’ir (ﺍﻠﺗﺳﻌﻴﺭ) seakar dengan kata as-si’r (ﺍﻠﺳﻌﺭ
= harga) yang berarti penetapan harga. Kata as-si'r ini digunakan di
pasar untuk menyebut harga (di pasar) sebagai penyerupaan terhadap aktivitas
penyalaan api, seakan menyalakan nilai (harga) bagi sesuatu. Dikatakan, Sa
arat asy-syay a tas îran, artinya menetapkan harga sesuatu yang merupakan
titik berhenti tawar-menawar. dikatakan, As arû wa sa arû, artinya
mereka telah bersepakat atas suatu harga tertentu. Oleh karena itu, tas‘îr secara bahasa berarti taqdîr as-si‘ri (penetapan/penentuan harga). Penetapan harga ini
diperbolehkan selama bertujuan untuk kemaslahatan umat atau untuk menegakan
keadilan antara penjual dan pembeli.
Daftar Pustaka
Al Lu’ul wal marja. (2014). Shahih Bukhari Muslim. Bandung:
Jabal.
Nuri, Aslami. Tas’ir.htm. diakses pada 06 Oktober 2015.
Hakim, Lukman. (2012). Prinsip-prinsip Ekonomi Islam.
Bandung: Erlangga.
Rasjid, Sulaiman. (2012). Fiqih Islam. Bandung: IKAPI.
Supradi dan Chairuman, Pasaribu. (2004). Hukum Perjanjian
Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Syafe’i, Rachmat. (2001). Fiqih Muamalah. Bandung:
Pustaka Setia.
[1]Rachmat syafe’i, Fiqih Muamalah,
hlm. 103.
[4]Hendi suhendi. Fiqh Muamalah. Hlm.
83.
[7]Al Lu’lu Wal Marja. 2014. Shahih Bukhari Muslim.
Bandung: Jabal.
[9]Drs. H. Chairuman Pasaribu dan
Suhrawardi K. Lubis, S.H, 2004, Hukum
Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 44.
[10]Ummy Salamah, Tinjauan Hukum Islam Terjadap Garansi dalam Jual Beli, Yogyakarta:
Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 2002, hal.45.
[11]Rachmat syafe’i, Fiqih Muamalah,
hlm. 103.
Komentar
Posting Komentar